Jakarta, Gatra.com – Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, mengatakan, banyak hakim membuat terobosan dalam memutus perkara waris pada tingkat kasasi atau Mahkamah Agung (MA).
"Untuk Indonesia, saya ingin bersaksi ya bahwa di putusan Mahkamah Agung kita, banyak sekali putusan-putusan yang mengandung terobosan-terobosan dan itu justru ada di kasus-kasus waris," katanya.
Dalam webinar bertajuk "Hukum Waris" yang dihelat Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia pada Sabtu (13/4), Sulistyowati, menyebut bahwa untuk perkara sengketa waris di tingkat MA ini cukup menggembirakan.
"Saya tidak tahu di kasus-kasus yang lain banyak kita kecewa dengan putusan hakim, tetapi untuk kasus-kasus waris itu luar biasa," ujarnya.
Profesor yang akrab disapa Sulis dan juga mengajar di Jurusan Antropologi pada Fakultas Ilmu Politik dan Sosial UI, itu mengungkapkan bahwa ini berdasarkan hasil penelitiannya 4 tahun lalu untuk post doctoral. Menurutnya, untuk Indonesia, hukum waris Islam tidak bisa dilepaskan dari hukum waris adat dan negara.
"Banyak sekali instrumen hukum negara terkait waris. Jadi memang hukum waris ini harus dijelaskan dengan perspektif pluralisme hukum," ujarnya.
Sulis melakukan peneltian ini untuk melihat bagaimana perempuan itu diposisikan dalam hukum waris melalui sengketa-sengketa yang berakhir di MA. Adapun luar biasanya putusan hakim kasasi MA dalam memutus perkara waris, tentunya sangat terkait dengan ketokohan dari Wirjono Prodjodikoro, Ketua MA kedua. Dia memahami bagaimana perjuangan gerakan perempuan jauh sebelum Indonesia merdeka.
"Beliau ingin memberikan posisi yang baik dalam hukum dan yang bisa dilakukan adalah ketika ada kasus-kasus waris masuk ke Mahkamah Agung dan ditangani oleh beliau, meskipun pada masa itu, beliau sangat ditentang oleh hakim-hakim adat maupun hakim-hakim agama," katanya.
Persoalan yang Kerap Muncul dalam Hukum Waris Islam
Persoalan atau pertentangan yang kerap menjadi permasalahan dalam perkara hukum waris Islam, ?adalah siapakah yang menjadi ahli waris dan berapa bagiannya. "Selalu semacam itu," ucap Sulis.
Dalam hukum waris Islam, lanjut dia, ada pluralismenya sebagaimana hasil penelitian sejumlah peneliti mancanegar?a yang tertarik mengkaji persoalan waris di Indonesia, di antaranya dari Amerika Serikat (AS) dan Australia.
Para peneliti mancanegara juga mengkaji di daerah mana saja hukum waris Islam diterapkan, apakah di Pulau Jawa atau di luar Pulau Jawa. Kemudian, bagaimana hubunganya dengan hukum adat.
"Kita melihat hukum adat juga ada pluralisme di situ ya, berdasarkan prinsip sistem, ada patrilineal, matrilineal, dan bilateral. Tetapi juga hukum adat itu dipengaruhi oleh hukum Islam dan juga dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pengadilan sebelumnya," kata dia.
Hukum waris Islam dan adat sama-sama mengandung pruralisme. Begitupun hukum negara, karena persoalan waris ada di hukum atau undang-undang perkawinan dan di kompilasi hukum Islam. "Ada juga ditutup putusan-putusan pengadilan. Jadi di situ uniknya studi tentang waris ya," katanya.
Pertarungan Yuridiksi Sengketa Waris
Sulis mengungkapkan bahwa ada persoalan ganda dalam perkara perselisihan waris, yakni tentang perbutan yurisdiksi antara pengadilan negara, adat, dan agama. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengalihkan yurisdiksi persoalan waris dari pengadilan agama ke pengadilan adat pada tahun 1926.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1951, pemerintah Indonesia melalui undang-undang darurat, meniadakan Pengadilan Adat, sehingga sejak hari itu sampai hari ini, Pengadilan Agama tidak saja mendapatkan yurisdiksi perkara waris, tetapi juga persoalan ekonomi syariah.
Pruralisme hukum biasanya dapat dilhat dari hidup masyarakat sehari-hari ketika mereka bersengketa. Pruralisme hukum di Indonesia ini terjadi setelah ?kedudukan warga negara dibagi tiga golongan, yakni Eropa, timur asing, dan pribumi.
"Ketiga golongan penduduk ini tunduk pada hukumnya masing-masing dan pengadilannya masing-masing. Jadi pengadilannya banyak banget pada waktu itu ya, untuk golongan Eropa, untuk golongan pribumi, untuk golongan timur asing. Ya itu banyak pengadilan jadinya kita pada masa itu," ujarnya.
Hukum Waris Islam
Penerapan hukum waris Islam ini pada umumnya setelah ada orang yang meninggal dunia. Kemudian, yang menjadi persoalan apakah pihak-pihak yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan orang yang meninggal itu merupakan ahli waris.
"Selalu dari sejak dahulu sampai hari ini, kontestasi atau negosiasi dari kasus-kasus waris, ini terletak pada apakah seseorang itu punya hak waris dan kemudian berapa bagiannya, selalu soal itu," ujarnya.
Sulis menyampaikan, pengumpulan datanya terbilang lebih mudah karena kala itu reformasi di Indonesia tengah berjalan. Pengadilan membuat laman dan menyajikan putusan perkara, sehingga tidak perlu harus mencari dan menyeleksi putusan secara manual.
"Sejak tahun 2000, MA sudah mulai membuka website dan kita semua bisa men-download putusan-putusan yang ada. Saya mendapat 507 kasus, hedingnya itu perdata dan waris. Jadi memang tercampur antara urusan perdata dan waris dan itu harus difilter sehingga saya betul-betul mendapat yang kasus waris," katanya.
Dari angka di atas, akhirnya didapatkan sebanyak 169 perkara waris yang ada kaitan darah dan perkawinan. Dari angka ini, dipilih sebanyak 20 kasus untuk diseleksi dan dianalisis menggunakan prospektif hukum.
Sulis menjelaskan, dari 169 putusan perkara itu terkait waris yang ada di Indonesia beragama Islam dan non-Islam serta wilayahnya, yakni dari Indonesia bagin timur hingga ke barat.
"Kita sudah lihat posisi dari kasus waris itu di kalangan penduduk yang beragama Islam dan non-Islam. Ketika bicara soal pilihan terhadap sengketa mereka mau pakai pengadilan yang mana, itu posisinya berubah," katanya.
Untuk wilayah Sumatera Barat (Sumbar) yang penduduknya mayortas mulslim, ternyata mereka lebih memilih Pengadilan Negeri. Masyarakat yang umumnya menganut sistem kekerabatan matrilineal, yakni garis waris dihitung dari garis ibu, menyampaikan bahwa Pengadilan Negeri adalah penjaga adat mereka.
"Pengadilan Negeri penjaga adat kami, sehingga mereka lebih suka memilih Pengadilan Negeri. Putusan-putusan Pengadilan Negeri di Sumatera Barat itu lebih mengacu kepada hukum adat itu. Jadi tidak heran mereka lebih memilih Pengadilan Negeri, juga Aceh ya, hal semacam itu," katanya.
Sulis lebih jauh menyampaikan bahwa ini harus dilihat lagi kondisi hari ini karena ada Undang-Undang Peradilan Agama 2006-2008 yang mengatakan bahwa untuk mereka yang beragama Islam, tidak punya pilihan, harus menyelesaikannya di pengadilan syariah. "Itu harus ada penelitian lanjutannya, bagaimana dengan orang Minangkabau hari ini, orang Aceh hari ini," ucapnya.
Putusan MA soal Waris
Dari 169 putusan Mahkamah Agung (MA) tentang perkara waris yang diteliti Sulis, secara garis besar bahwa para pihak mengajukan langkah hukum hingga ke tingkat kasasi atau MA adalah anak, istri, anak hasil adopsi, anak tiri, dan anggota keluarga lainnya.
"Jadi kalau kasus waris, itu biasanya yang bersengketa bukan hanya a dan b, a dan keluarga-keluarganya, b dan keluarga-keluarganya," ungkap dia.
Kemudian, lanjut Sulis, dari perkawinan monogami juga banyak melahirkan sengketa waris setelah orang tuan meninggal dunia, meskipun perkawinan itu menghasilkan anak atau tanpa anak. Begitupun juga poligami. "Jadi begitu ayahnya meninggal, itu sengketanya lebih seru lagi kalau ayahnya punya istri lebih dari satu," ujarnya.
Dari 169 itu, Sulis kemudian memfokuskan penelitiannya pada satu putusan yang kasusnya begitu kompleks, yakni bermula dari adanya perkawinan poligami dengan empat orang istri, satu anak, dan kemudian ada 2 anak yang diadopsi.
Dalam pekara tersebut, salah seorang anak dari perkawinan pertama bersengkta dengan istri ke-4 dan 2 anak adopsi. Mereka menyengketakan soal harta nenek moyang, yakni harta yang diturunkan secara turun-temurun dan harta yang didapat dalam perkawinan.
"Perkawinan yang berasal dari perkawinan yang kempat, ada tanah ada rumah. Jadi ingin semua tanah yang diwariskan secara turun temurun itu untuk dia [anak dari perkawinan pertama] semua. Lalu dia juga ingin harta perkawinan dari ayahnya itu separuh buat dia. Ini terjadinya di Jatim," ungkapnya.
Pengadilan negeri kemudian memutuskan bahwa harta turun temurun itu harus diserahkan kepada laki-laki itu, kecuali yang sedang disengketakan. Lalu sepertiga harta diberikan kepada ibu dari perkawinan keempat karena dia sudah melahirkan anak dan juga merawat suaminya itu. Dua anak hasil diadopsi pun mendapatkan bagian.
Sedangkan untuk harta gono gini, setengahnya diberikan kepada istri yang keempat, seperempatnya diberikan kepada istri yang keempat lagi, lalu kepada anak adopsi dan kepada anak yang pertama dari perkawinan pertama.
"Agak rumit ya tentu saja ini karena diceritakan secara singkat, tetapi perdebatan-perdebatan di dalam dokumen pengadilan itu sangat detail," katanya.
Dalam putusan ini, majelis juga menyampaikan alasan-alasan mengapa memberikan kepada istri keempat dan 2 anak adopsi. Adapun alasan untuk istri keempat, karena dia sudah memberikan anak dan mewarat suaminya hingga meninggal dunia.
Pihak yang merasa dirugikan atau dikalahkan, selanjutnya mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. PT kemudian menguatkan putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama. "Kemudian pengadilan Mahkamah Agung menolak kasasinya."