Jakarta, Gatra.com – Wanita Madura berjuang keras untuk mempertahankan tanean lanjhang setelah "terusir" dari sana karena tidak memiliki keturunan meskipun sudah 3 sampai kali menikah.
Peneliti dari Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia (UI), Khaerul Umam Noer, dalam webinar bertajuk "Hukum Waris" gelaran Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia pada Sabtu (13/2), menyampaikan, tanean lanjhang merupakan permukiman tradional masyarakat Madura.
Permukiman tersebut terdiri dari kumpulan rumah yang terdapat kekeluargaan yang mengikat. Berdasarkan penelitian Umam terhadap beberapa orang wanita wanita yang "terusir" dari tanean lanjhang pada sekitar tahun 1960 atau 1070-an, mereka terus berjuang agar bisa diakui di tanean lanjhang tersebut.
Umam mengungkapkan, orang tua yang menikahkan putrinya, akan membangunkan rumah di dekat rumah induk dalam permukiman tanean lanjhang untuk anaknya. Ada ruang khusus perempuan yang tidak boleh dimasuki oleh laki-laki.
"Dalam tanean itu selalu ada pintu lain, itu adalah area yang memang menjadi milik perempuan," ungkapnya.
Berdasarkan beberapa penelitian, perempuan Madura itu mempunyai dua takdir, yakni harus menjadi ibu dan menjadi istri. "Dua hal yang harus dipenuhi," kata Umam.
Sementara para wanita yang menjadi objek penelitian Umam, mereka tidak bisa memenuhi kedua takdir tersebut saat berada di kampung halamannya. "Kenapa menjadi penting ketika bicara mengenai tanean berkaitan dengan politik tubuh, karena pada dasarnya, tanean itu diwariskan ke anak perempuan," ujarnya.
Untuk menjaga afinitas dengan keluarga, seorang perempuan harus mampu menarik laki-laki. "Untuk bisa mempertahankan laki-laki, maka perempuan harus bisa menghasilkan anak atau melahirkan keturunan," katanya.
Umam mengungkapkan, masih menemukan pola tersebut meskipun modernitas dan globalisasi mendorong perubahan di masyarakat Madura. Pola tersebut misalnya soal poros barat dan timur di tanean lanjhang. "Sampai sekarang juga masih ada, selalu ditemukan poros barat-timur, di barat itu pasti langgar," katanya.
Wanita Madura yang sudah beberapa kali menikah dan tak kunjung mempunyai momongan, kemudian merasa tereklusif dan tersingkirkan dari lingkunan sosial tanean. Pasalnya, dia kembali bercerai karena tidak puya anak. Sedangkan tugas untuk mengolah lahan adalah tanggung jawab suami.
"Dia merasa sebagai beban, bahkan lingkungannya pun mengganggapnya beban. Dia enggak cuma sekadar beban ekonomi tetapi yang paling penting atau beban kulturalnya," ucap Umam.
Ketika ada angkatan pekerja perempuan sekitar tahun 1970-an, perempuan-perempuan Madura yang mengalami itu kemudian memilih untuk migrasi atau pindah, di antaranya ke Bekasi, Jawa Barat (Jabar), atau Jakarta.
Di perantauan mereka kemudian mulai mempunyai pekerjaan dan penghasilan. Merteka kemudian mapan. Namun mereka tidak pernah melepas imaji soal rumahnya di Madura, sehingga tetap melakukan persis seperti yang dilakukan di kampung halamannya saat berada di perantauan. "Jadi ada ruang untuk perempuan. Jadi kalau tamu laki-laki enggak boleh masuk," katanya.
Mereka setiap tahunnya mengirimkan emas atau perhiasan berupa kalung, cincin, dan gelang kepada saudaranya di kampung. Jumlahnya bisa 10 atau 15 gram. Ini merupakan bagian dari "perlawan" para perempuan tersebut untukmenawar mimpinya karena mereka tidak lagi diterima di tanean dan tidak bisa kembali ke sana.
"Solusi paling mudah adalah mereka menawar mimpi mereka dengan emas itu, meski semua informan [perempuan Madura objek penelitian] saya menyatakan, kagak peduli itu emas yang dikirim tiap tahun itu dipakai buat apa. Mau dijual kemudian dipakai buat beli barang, atau mau dijual dipakai buat beli rokok, atau mau dijual buat modal, atau apapun mereka tidak peduli," ucap Umam.
Para perempuan itu hanya peduli bahwa masih punya hak di tanean meskipun saat ini berada di perantauan. Saat berada di perantauan, mereka ada yang kembali menikah dan akhirnya mempunyai anak. Sedangkan yang tetap tidak karuniai momongan, mereka di antaranya mengadopsi anak.
"Mereka menikah, mereka selalu bilang ke suami-suami mereka bahwa rumah kita itu di sana, di Madura sana. Tanean adalah geografi moral, segala sesuatu dikembalikan ke sana, hak dan kewajiban bagi perempuan Madura, bagaimana konstruksi sosial ketika berada di Madura direplikasi ketika berada di Bekasi, mereka mengajarkan anak-anaknya apa yang menjadi tradisi Madura, budaya Madura, bahasa Madura," katanya.
Para wanita tersebut selalu mengatakan bahwa di perantauan hanya numpang atau transit. Rumahnya tetap berada di Madura, meksipun kalaupun pulang ke sana hanya sekitar 2 hari karena mereka setelah beberapa dekade terasingkan dari rumahnya. Mereka tidak lagi diakui sebagai bagian dari keluarga besar tanean.
"Mereka ingin menjelaskan kepada keluarga mereka di Madura bahwa ini hak saya, bahwa tanean adalah hak saya di sana yang harus dipertahankan berapapun harganya," kata Umam.
Para wanita itu juga tetap ber-KTP Madura karena prinsip bahwa perantauan hanya tempat mencari nafkah walaupun mereka mempunyai rumah di perantauan tersebut. "Ini yang kemudian menjadi titik menarik bahwa kenapa saya menyebut tanean sebagai axis mundi. Itu berarti menjadikan tanean axis mundi, adalah titik balik, titik berangkat sumber kehidupan," ujarnya.
Menurut Umam, tanean adalah refleksi bagaimana sesungguhnya perempuan-perempuan Madura yang ada di Bekasi, mencoba untuk merefleksikan kehidupan mereka di Madura.
Umam baru mengetahui bahwa mengapa para wanita yang menjadi objek penelitiannya itu tetap teguh mempertahankan tanean lanjhang, setelah satu dari mereka ada yang meninggal dunia. Dia sempat menyampaikan kepada suaminya agar dimakamkan di kampung halamannya. Namun pihak keluarga di sana menolak, sehingga almarhumah dimakamkan di Bekasi.
"Nah, dari itu saya mulai menyadari bahwa tanean sebagai axis mundi adalah tempat semua berawal sekaligus tempat semua berakhir. Para perempuan ini, ada 1-2 informan [perempuan Madura] yang menyatakan terang-terangan, saya sih enggak peduli misalkan kalau nanti suami, anak meninggal akan dikuburkan di mana, tapi kalau saya meninggal, dikubur di sana [Madura]," ungkapnya.
Umam menyampaikan bahwa ini terjadi karena memori kolektif tentang tanean sebagai axis mundi. "Bicara mengenai ingatan, perempuan-perempuan ini bicara mengenai keberadaan, bicara mengenai pengakuan," katanya.
Para perempuan tersebut, lanjut Umam, penting menegaskan kepada keluarga bahwa mereka masih punya hak di tanah kelahirannya. "Bukan cuma taneannya saja yang dikejar oleh para perempuan-perempuan ini, mereka justru ingin mengejar sesuatu yang sifatnya kolektif. Memori kolektif bahwa mereka mungkin ketika dikuburkan di Bekasi, khawatir namanya terlupakan menjadi bagian dari anggota keluarga," ujarnya.