Pekanbaru,Gatra.com- Koordinator Scale Up, Rawa El Almady,mengatakan bekurangnya konflik lahan di HTI, disebabkan oleh kuatnya tekanan pasar internasional. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha HTI mencoba secara perlahan bersikap sesuai dengan keinginan pasar.
Asal tahu saja, selain dikenal sebagai daerah sentra sawit di tanah air, Provinsi Riau juga merupakan daerah yang memiliki puluhan konsesi hutan tanaman industri atau HTI. Luasan lahanya bahkan lebih besar dibandingkan industri kelapa sawit.
"Kenapa konfliknya minim, itu karena ada tekanan yang kuat di pasar internasional terhadap industri kehutanan. Sedangkan di industri kelapa sawit, tekanan itu coba disikapi dengan memunculkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), padahal dorongan internasional adalah Roundtable sustainable Palm Oil (RSPO),"ujarnya kepada Gatra.com di Pekanbaru, Sabtu (13/2).
Scale up sendiri merupakan lembaga pemantau lingkungan hidup dengan fokus mengamati konflik di sektor industri estraktif. Diketahui, Scale up mencatat ada 31 konflik sumber daya alam (SDA) yang melanda Provinsi Riau pada tahun 2020. Dari angka tersebut 26 kasus konflik berkaitan dengan sawit. Sisanya, konflik di sektor HTI.
"Ini terlihat dari data kita, konflik di ranah sawit mencapai 87 persen. Sedangkan yang berkaitan dengan HTI hanya 13 persen. Jadi sangat dominan muncul konflik itu pada sawit," tekan Rawa.
Disinggung mengenai gambaranya tentang kemungkinan konflik SDA yang terjadi pada 2021, ia menilai petanya tidak akan berubah, dimana konflik sektor HTI tidak akan sebanyak persolan serupa di kelapa sawit. Rawa mengutarakan sejumlah indikator untuk hal ini.
Menurutnya, selagi status sawit di kawasan hutan belum terurai, maka konflik akan muncul di industri sawit, baik antara masyarakat petani sawit dengan pemerintah, maupun antara perusahan dengan pemerintah.
"Belum lagi bicara program biodiesel, dimana kebijakan itu akan membuka ruang konflik. Sebab minyak sawit yang kesulitan menembus pasar internasional, akan dialihkan untuk kepentingan domestik, kepentingan yang sifatnya longgar terhadap kebijakan sawit yang bekerlanjutan. Kondisi ini akan mendorong ekspansi industri sawit, yang memerlukan penguasaan lahan baru. Penguasaan lahan rentan memantik konflik,"urainya.
Adapun data dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), mencatat 2,1 juta hutan alam di Riau dikuasai korporasi. Dari luasan tersebut sebagian besar berada di lahan gambut,dengan total luasan mencapai 1.572.595 hektare.
Adapun luasan konsesi HTI di lahan gambut mencapai 1.408.308 hektare. Dimana Asia Pulp and Paper mendominasi sebaran HTI di lahan gambut, dengan luasan konsesi lebih kurang 680.000 hektare. Kemudian, APRIL Group dengan luasan lebih kurang 578.000 hektare. Sedangkan Barito Group melalui 2 anak usahannya menggarap gambut seluas lebih kurang 129.000 hektare.Selanjutnya PT Rokan Permai Timber dengan area lebih kurang 20.000 hektare. Sedangkan konsesi peruntukan Hak Guna Usaha (HGU) kelapa sawit seluas 164.287 hektare.