Jambi,Gatra.com- Provinsi Jambi dan 4 kabupaten di antaranya, Bungo, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Batang Hari, serta 1 Kota Sungai Penuh baru saja melalui tahapan Pilkada 2020 yang panjang, penuh liku dan drama pandemi Cvid-19. Bagi daerah yang masih ada sengketa PHP Kada, Mahkamah Konstitusi menjadi pintu terakhir bagi para kandidat untuk mencari keadilan. Para pihak, paslon dan penyelenggara diberikan kesempatan yang adil untuk bertarung beradu argumen, bukti dan saksi.
"Hasil Pilkada tahun 2020 ini sangat beragam, ada petahana yang menang, namun banyak juga keluarga petahana (politik dinasti) yang tumbang, bahkan saling klaim kemenangan akibat tipisnya perolehan suara. Namun secara umum proses pilkada bisa dikatakan aman dan lancar, meskipun di beberapa daerah sempat terjadi pengadangan dan saling hujat di media sosial," kata M. Farisi dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi kepada Gatra.com, Jumat (12/2).
Farisi menjelaskan, ekses positif dari pilkada adalah terpilihnya kepala daerah yang konstitusional yang akan berkuasa 5 tahun kedepan. Namun Pilkada juga bisa melahirkan ekses negatif berupa konflik antar pasangan calon dan tim sukses yang berimbas sampai ke akar rumput atau kelompok-kelompok sosial masyarakat.
"Tidak bisa kita pungkiri pada Pilkada lalu kita disuguhi berbagai propaganda black and negatif campaign, saling hujat di medsos, menyebar kebencian terhadap individu, agama, SARA dan gender, bahkan terjadi gesekan pendukung di akar rumput," jelasnya.
Ketua KOPIPEDE Provinsi Jambi ini melanjutkan, rekonsiliasi dengan mengendepankan kepentingan daerah Jambi harus segera dilakukan, rekonsiliasi politik akan terlaksana jika kedua pihak (yang menang dan kalah) sadar dan memiliki kesamaan pandangan, jiwa kenegarawanan serta komitmen kebangsaan.
"Menurut kamus KBBI, Rekonsiliasi mempunyai makna perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan. Rekonsiliasi juga di maknai menyatukan masyarakat yang terbelah untuk mewujudkan restorasi keadilan (Kohen, 2009)," ungkapnya.
"Sementara menurut lederach (1999:29) rekonsiliasi membutuhkan orang-orang yang memilki jiwa besar, sifat welas asih, keadilan, serta cinta damai, mereka bertemu dalam suasana kebersamaan. Sedangkan Filsuf Karl Jasper (1996) mengungkapkan rekonsiliasi sejati bermakna kebenaran, bukan sikap kepura-puraan didepan publik, namun dibelakang masih sakit hati dan tidak ikhlas. Segala bentuk konfrontasi seperti saling menjelekkan, menghina, memfitnah harus segera dihentikan. Pendidikan politik yang santun harus dikedepannya supaya menjadi presenden baik bagi generasi Jambi mendatang," sambung Farisi.
Farisi mengingatkan, bahwa sejatinya setiap anak negeri Jambi ini adalah saudara, yang memiliki nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Terkait proses Pilkada yang bermartabat dijelaskan dalam seloko adat melayu Cerdik idak membuang kawan, gemuk idak membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang akal idak melilit, artinya menjadi orang yang arif dan bijaksana, tidak boleh saling sikut.
"Meskipun beda pandangan politik namun harus tetap rukun seperti seloko adat Alim Sekitab Cerdik Secendikio, Batino Semalu Jantan Sasopan artinya kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Juga seloko Negeri aman padi menjadi, aek bening ikannyo jinak, rumput mudo kerbonyo gemuk, idak ado silang yang dapat dipatut, idak ado kusut yang dak dapat diselesaikan, idak do keruh nang dak dapat dijernihkan," paparnya.
Menurut Farisi, dalam situasi pasca Pilkada secara moral pihak yang menang harus mengambil inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi. Upaya ini harus dilakukan sendiri secara langsung ataupun melalui orang yang dipercaya dan juga dihormati oleh pihak yang kalah, komunikasi harus dilakukan pada semua pihak yang dalam pilkada kemarin saling berhadapan.
"Rakyat pasti senang manakala para pemimpinnya tetap rukun dan saling menyapa. Pihak yang kalah juga harus cepat menyesuaikan suasana hati, bila belum puas, jalur hukum di Mahkamah Konstitusi harus menjadi satu-satunya solusi. Tawaran rekonsiliasi dengan mengedepankan kepentingan rakyat harus disambut dan segera ditindaklanjuti," kata dia.
Ia menuturkan, para elit politik harus menunjukkan kedewasaan berpolitik dan memberikan teladan, kondisi sosial masyarakat Jambi yang masih menganut patron klien, rekonsiliasi yang terjadi antar elit akan cepat menular sampai ke akar rumput.
"Bila suasana pasca Pilkada belum juga dingin maka Forkompinda seperti pihak Polda/Polres bisa mengambil inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi bagi para paslon, perlu dibuat forum silaturahmi antar tokoh politik, tokoh masyarakat masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat di Jambi untuk merajut kembali persatuan, persaudaraan dan komitmen membangun Jambi yang lebih baik 5 tahun mendatang.
Seloko adat Jambi memberikan pelajaran bahwa pemimpin itu hendaknya ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat bersandar, daunyo rimbun tempat berlindung ketiko hujan, tempat beteduh ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo, pegi tempat bertanya, balik tempat babarito.
Farisi menambahkan, sebagai penjaga ketertiban masyarakat, dengan segala sumber daya yang dimiliki Polda melalui pola Pemolisian Presisi mempunyai peran sentral menginisiasi rekonsiliasi dengan melakukan roadshow menemui para kepala daerah, elit politik, tokoh masyarakat, pemuda, agama dan adat untuk berterima kasih, karena sudah bersama-sama menjaga kondusif daerah serta terus mengajak untuk menjaga kebersamaa persatuan dan kesatuan di daerah.
"Akhirnya kita semua berharap para tokoh dan seluruh masyarakat negeri ini segera matang berdemokrasi. Bagi yang kalah Pilkda secara legowo dan ksatria mengakui kekalahan, kemudian mengucapkan selamat kepada yang menang, dan sebaliknya yang menang segera berfikir rekonsiliasi menyatukan elemen untuk membangun Jambi ini 5 tahun kedepan. Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah, artinya pempimpin Jambi yang mampu mengayomi masyarakat dengan baik akan diikuti dan dihormati, sebaliknya pemimpin yang dzolim akan dimusuhi oleh rakyatnya sendiri," ucapnya.