Tegal, Gatra.com - Sebuah permukiman di Kota Tegal, Jawa Tengah kondisinya masih terisolir meski jaraknya tak jauh dari pusat kota. Hal itu menyulitkan warganya mengakses layanan kesehatan dan pendidikan.
Permukiman tersebut biasa disebut Kampung Tirang dan secara administrasi berada di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, wilayah yang bisa ditempuh dalam waktu tak sampai 15 menit dari pusat Kota Tegal.
Meski begitu, menuju ke Kampung Tirang butuh usaha yang lumayan keras. Sebab harus terlebih dahulu menyeberangi sungai menggunakan rakit atau perahu nelayan. Setelah itu, dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh sekitar satu kilometer dengan kondisi jalan berlumpur di beberapa titik .
Sesampai di Kampung Tirang, tak banyak rumah warga yang bisa dijumpai seperti umumnya perkampungan. Hal ini karena hanya ada 12 kepala keluarga (KK) yang menghuni kampung yang berada di pesisir pantai tersebut.
Mereka tinggal di bangunan semi permanen. Dinding rumah terbuat dari potongan kayu, bambu dan papan dengan lantai masih berupa tanah. Sementara atapnya ada yang menggunakan seng.
Salah satu warga, Husein (58) mengaku sudah tinggal di Kampung Tirang sejak tahun 2000-an. Dia tinggal bersama istri dan seorang anaknya.
"Kalau jumlah seluruh warga yang tinggal di sini 12 KK. Dari dulu segitu," kata Husein saat ditemui Gatra.com, Jumat (12/2).
Husein sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Dia pergi melaut pagi dan pulang sore hari. "Rata-rata warga bekerja sebagai nelayan. Ada yang harian ada yang bulanan baru pulang," ucapnya.
Menurut Husein, dia dan warga lainnya harus menyeberangi sungai menggunakan rakit atau perahu nelayan jika ingin membeli kebutuhan sehari-hari di pasar atau mengakses layanan pemerintah seperti layanan kesehatan.
"Paling cepet nyeberang pakai getek (rakit). Ada jalan lain tapi harus memutar jauh lewat Kelurahan Muarareja. Jalannya juga ya rusak, karena di pinggir pantai. Kalau pakai motor nggak bisa nyeberang. Boro-boro motor, saya punya sepeda saja bekas," ungkapnya.
Selain wilayahnya yang terisolasi dari perkampungan lain, Kampung Tirang juga sempat bertahun-tahun tak teraliri listrik. Warga harus menggunakan lampu teplok atau sumber penerangan lain yang menggunakan minyak agar rumah mereka tak gelap saat malam hari. "Listrik baru masuk tiga tahun yang lalu," ujar Husein.
Menurut Husein, tanah yang dia dan warga lain tinggali merupakan tanah milik Pemerintah Kota Tegal. Dia pun pasrah jika sewaktu-waktu diminta pindah seperti yang pernah dialaminya ketika ada proyek normalisasi sungai.
"Dulunya tanah kosong, tidak berpenghuni. Ini tidak sewa, hanya bayar listrik saja.? Nanti kalau disuruh pindah ya pindah lagi," ujar dia.
Tidak adanya akses jalan yang memadai tak hanya menyulitkan warga untuk keluar-masuk kampung, tetapi juga membuat sejumlah anak di Kampung Tirang putus sekolah.
Hal itu dialami Muhamad Prasetyo. Bocah 14 tahun ini sudah putus sekolah sejak kelas 2 SD. "Seharusnya kalau masih sekolah sudah SMP," kata ibu Prasetyo, Sumiyati (46).
Menurut Sumiyati, anak ketiganya itu berhenti bersekolah karena lokasi sekolah yang berada di Kelurahan Tegalsari jauh dan harus menyeberangi sungai terlebih dahulu.
"Dia tidak mau sekolah harus menyeberang pakai rakit. Kadang tidak ada yang nyebrangin. Pernah pindah ke SD yang di Kelurahan Muarareja biar tidak usah nyeberang, tapi akhirnya juga keluar karena jalannya jauh dan rusak," ujarnya.
Sumiayati menyebut dua kakak Prasetyo juga bersekolah di SD tidak sampai lulus. Mereka bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal pencari cumi dan pulang tiap tiga bulan sekali.
"Kalau anak yang paling kecil usianya 4 tahun. Enggak tahu nanti sekolah apa enggak," ucapnya.