Jakarta, Gatra.com – Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sektor transportasi laut tengah digarap. RPP yang sempat mengemuka, ditenggarai dapat mematikan perusahaan angkutan transportasi laut nasional karena Pasal 44 RPP dari UU Cipta Kerja (Ciptaker) Nomor 11 Tahun 2020 itu, memberikan kesamaan antara agen dan perusahaan pelayaran.
Ahli hukum kemaritiman Nirmala Chandra Kirana Motik dalam webinar bertajuk "Menyoal Peran Agen Dalam RPP Sektor Transportasi Laut" menyampaikan bahwa harus ada pembatasan yang jelas agar kedua usaha itu tidak saling mematikan.
"Perlunya pengkategorian ruang lingkup kegitan keagenan kapal. Diharapkan dapat memberikan usaha di periran nasional tanpa mematikan usaha salah satunya," ujar Chandra Motik.
Perempuan yang juga merupakan praktisi hukum ini mengungkapkan, dalam Pasal 90 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2010, menyebutkan kegiatan usaha keagenan kapal dapat dilakukan oleh perusahaan keagenan kapal dan perusahaan angkutan laut nasional.
Menurutnya, perlu pengkategorian yang jelas mengenai ruang lingkup kegiatan keagenen kapal yang menjadi salah satu usaha kegiatan angkutan laut di perairan karen selama ini belum dilakukan.
Selain itu, lanjut Chandra Motik, pengategorian ini agar kedua usaha di atas tidak saling mematikan, tetapi dapat meningkatkan usaha di perairan nasional. Merujuk pada sejarahnya, keagenan itu adalah bagian dari usaha di perusahaan pelayaran.
Agen hanya penunjang sehingga tidak bisa mengambil core bisnis pelayaran. "Agen kapal nasional mengurus kepentingan operasional sesuai kapasitas dan keahlianya. Sementara perusahaan angkutan laut nasional melakukan kegiatan keagenan selain untuk pengurusan kepentingan operasional juga untuk kepentingan komersial kapal," ujarnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Persaingan Usaha dari Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Ningrum Natasya Sirait, menyampaikan bahwa dari sisi persaingan usaha, industri pelayaran nasional belum pada level yang sama dengan industri kapal asing.
Karena itu, perlu membuat aturan untuk melindungi pelayaran nasional agar tidak membiarkan persaingan yang tidak seimbang. Guru Besar Fakultas Hukum USU yang hobi sepak bola ini mengilustraikan pentingnya kesamaan kemampuan peserta kompetisi.
Ningrum mencontohkan tentang orbrolannya dengan mahasiswa yang diajarnya. Kepada para mahasiswa, ia mengatakan agar PSMS berkompetisi dengan klub peserta liga Inggris, misalnya Manchester United (MU), Manchester City, dan Liverpool. Para mahasiswa pun protes.
"Satu kelas teriak, enggak bisa. Saya bilang, enggak bisa di mana? Aturan bola itu universal, ada wasit, injury time, hakim garis dan lain-lani. Kenapa kamu bilang enggak boleh?" katanya
Para mahasiswa pun menyampaikan, MU, City, maupun Liverpool saat saat ini bukan lawan yang seimbang buat klub berjulul Ayam Kinantan ini. "That what I means with level playing field," ujar Ningrum.
Menurutnya, ini pun menjadi contoh di sektor usaha pelayaran. "Kita belum sampai pada level playing field yang sama, baik dari sisi modal, teknologi maupun skill-nya," kata Ningrum.
Masuknya agen kapal yang menjadi principal kapal asing sejajar dengan industri kapal nasional, seperti halnya PSMS melawan Liverpool atau MU maupun City. "Kalau kita mau bersaing, appel to appel baru bisa diukur," tandasnya.
Menurutnya, jika anggota kompetisi tidak berimbang dan disuruh untuk bersaing, itu tidak akan sanggup, begitupun di sektor transportasi laut, ketidakimbangan akan merugikan yang "lemah". "Kalau kita enggak sanggup, kita pasti akan diterobos orang terus," katanya.
Kondisi itu sangat berbahaya. Paslanya, bisanya setelah menguasai, industri maritime akan sulit hengkang. Terlebih Indonesia ini merupakan negara kepulauan yang memiliki market besar.
"Ingat ya, siapapun yang entry ke Indonesia, enggak mau pergi, kita sebut pasar yang menguntungkan," katanya.
Namun demikian, Ningrum juga menyampaikan tidak alergi kepada pihak asing, faktanya mereka sudah masuk ke semua sektor. Namun ada syarat, pemerintah harus punya road map yang jelas menyejajarkan industri dalam negeri agar bisa bersaing.
"Karena itu, dalam konteks RPP ini, yang mau dilindungi yang mana, yang mau dibuka yang mana, sehingga competitive policy-nya clear," tandasnya.
Adapun pembicara terakhir pada Kamis kemarin (11/2) tersebut, yakni pakar logistik dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Senator Nur Bahagia. Ia menyampaikan, permasalahan utama dalam RPP adalah perusahaan keagenan menjadi seperti perusahaan kapal, mereka bisa melakukan kegiatan-kegiatan seperti pemasaran.
Padahal, dalam peraturan yang dibuat sebelumnya adalah keagenan memiliki fungsi menjadi kepanjangan tangan dari kapal asing yang menjadi prinsipalnya. “Seperti mengurus perizinan, bongkar muat, administrasi tidak ada unsur bisnisnya."
Menurutnya, lantas dengan adanya fungsi keagenan yang diperluas sebenarnya mewakili kepentingan siapa, kepentingan asing atau kepentingan nasional yang dibela.
"Secara konstitusi sebenarnya kepentingan nasional yang harus dibela, dengan RPP apakah melindungi kepentingan nasional atau tidak," ujarnya.
Setiap regulasi harus dibuat dampak analisisnya, jangan karena diburu waktu yang dipentingkan adalah penciptaan lapangan pekerjaan, kemudian kurang memperhatikan fungsi kedaulatan dan ekonomi kerakyatan. "Sehingga muncul RPP yang menurut saya tidak membela kepentingan kedaulatan negara dan ekonomi," katanya.
Solusinya, ujar Senator, adalah partnership, misalnya kapal asing bermitra dengan kapal Indonesia, sehingga kapal Indonesia bisa go internasional. "Karena kelemahan kita adalah networking, dengan partnership maka tidak akan saling mematikan," kataya.