Jakarta, Gatra.com- Tim Serap Aspirasi Lingkungan Hidup, Prof. Budi Mulyanto menyebut kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja dapat mengupayakan penciptaan kerja menjadi lebih terukur.
"Jadi ini mengharmoniskan kebijakan pemerintah di pusat maupun daerah untuk menunjang iklim investasi bagi penciptaan lapangan kerja," katanya dalam Katadata Forum Virtual Series "Aturan turunan UU cipta kerja," Menelisik Komitmen Perlindungan Lingkungan Hidup", Rabu (10/2).
UU Cipta Kerja juga dinilai bisa menjadi solusi tantangan yang dihadapi Indonesia. Seperti di antaranya angka pengangguran, kemiskinan, serta impor pangan yang masih tinggi.
Kehadirannya akan mempermudah investasi dan memangkas proses birokrasi yang ada. "Memutus rantai birokrasi dimana mencari izin saja bisa bertahun-tahun, nah ini bisa dipercepat," jelas Budi
Sebagai informasi, pro dan kontra bermunculan dalam proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu. Hal ini menjadi perhatian publik dan pemerhati lingkungan karena beleid ini dianggap memiliki banyak dampak negatif bagi lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Selain itu, dalam regulasi pelaksaan UU Cipta Kerja terdapat 40 R-PP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan 4 Perpres (Peraturan Presiden), untuk menampung aspirasi masyarakat dan disampaikan pada pemerintah. Kata Budi, masukan dan aspirasi dari masyarakat sangat beragam sehingga tidak semua diterima.
"Masukan dan aspirasi masyarakat kita coba analisis, kualifikasikan, dan pertimbangkan. Ada yang diterima penuh, ada juga yang ditolak, tapi aspirasi sangat penting untuk improvement RPP yang ada," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ari Sujianto memaparkan bahwa Peraturan Pemerintah yang diganti dalam kaitan UU Cipta Karya merupakan izin lingkungan, pengelolaan kualitas dan pencemaran air, udara, hingga Limbah B3. Maka izin usaha tidak memasukkan persyaratan lingkungan, namun telah tercantum dalam izin lingkungan.
"Pada saat analisis dampak lingkungan, itu melibatkan uji kelayakan. Tidak dengan mengurangi kualitas lingkungan, mengalihkan beban. Serta tetap menjaga standar, integrasi, dan pemahaman konsep," ucap Ari.
Ari menambahkan, UU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan pelibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen amdal. Menurut Ari, pelibatan masyarakat dilakukan secara proporsional.
“UU Ciptaker memberikan perhatian lebih terhadap kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha oleh pemrakarsa kegiatan dengan tetap membuka ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM pembina masyarakat terkena dampak,” ujarnya.
Kata Ari, pengaturan pelibatan masyarakat di luar masyarakat terkena dampak langsung dilakukan oleh pemerintah melalui Tim Uji Kelayakan (TUK). Dalam UU Ciptaker, dalam penyusunan amdal, masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat yang terdampak langsung dan LSM pembina langsung masyarakat.
UU Cipta Kerja Tidak Melalui Partisipasi Masyarakat
Adapun Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Nur Hidayati berpendapat bahwa keputusan dalam UU Cipta Kerja tidak melalui partisipasi masyarakat. Hal ini akhirnya membuat dampak pada lingkungan di mana masyarakat tinggal.
"Kami bisa mengatakan bahwa proses partisipasi itu sangat rendah, non partisipan karena tidak ada keterlibatan masyarakat, hanya ada pada yang memiliki kepentingan atau substansi," ungkapnya.
Hal tersebut selaras dengan pernyataan Prof. Andri. G. Wibisana Ph D, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut dia, pemerintah kurang mengontrol izin lingkungan.
"Izin dalam bidang lingkungan itu penting untuk mengontrol eksternalitas. Jadi izin lingkungan lebih penting dibanding izin usaha," pungkasnya.