Home Hukum IJRS Harapkan Kejaksaan Implementasikan Pedoman Ini

IJRS Harapkan Kejaksaan Implementasikan Pedoman Ini

Jakarta, Gatra.com - Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengharapkan agar Kejaksaan Republik Indonesia dapat melaksanakan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.

"Harapannya, pedoman ini dapat diimplementasikan dengan baik sehingga seluruh lapisan Kejaksaan dapat mengimplementasikan hal-hal yang diatur dalam pedoman ini," kata Bestha Inatsan A, peneliti dari IJRS di Jakarta, Selasa (9/2).

Menurutnya, implementasi pedoman tersebut sangat urgen karena peran Kejaksaan Agung (Kejagung) sangat penting dalam memastikan bahwa pedoman ini dapat diterapkan secara optimal, sehingga keadilan bagi anak dan perempuan yang dicita-citakan dalam pedoman ini dapat terwujud dan terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor hukum dan peradilan.

"IJRS mengapresiasi langkah konkret Kejaksaan dalam mengeluarkan pedoman ini," kata Bestha.

Ia menjelaskan, Kejaksaan Republik Indonesia menetapkan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Ini merupakan langkah konkret Kejagung guna menjamin dan memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak dalam proses hukum.

Menurutnya, jaminan dan perlindungan kepada perempuan dan anak ini masih menghadapi hambatan dan tantangan, terutama dalam pemenuhan haknya untuk mendapatkan fair trial.

Pedoman ini, lanjut Bertha, akan menjadi acuan bagi Jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak baik sebagai saksi, korban maupun pelaku. Apalagi Jaksa memegang peranan penting sebagai dominus litis (pengendali perkara) untuk mengawal dan memastikan pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak.

"Pembentukan pedoman [ini] menjadi sangat penting dan merupakan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya bagi kelompok rentan," katanya.

Bertha menilai bahwa langkah konkret Kejaksaan tersebut juga selaras dengan program-program pemerintah, salah satunya adalah peran aparat penegak hukum dalam perlindungan dan upaya pemulihan terhadap korban yang juga sejalan dengan indikator Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

"Pedoman ini juga sekaligus juga sejalan dengan upaya Mahkamah Agung (MA) RI yang sebelumnya telah menerbitkan PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan hukum, dan program SPPT-PKKTP (Sistem Peradilan Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan) yang diinisiasi oleh Bappenas, Komnas Perempuan, dan Forum Pengada Layanan," ungkapnya.

Pedoman Kejaksaan ini bertujuan mengatur bagaimana proses pemeriksaan dan pemenuhan hak bagi perempuan dan anak sejak dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan hingga tahap pelaksanaan putusan yang prosesnya dilaksanakan dengan berbasis perspektif korban, serta sensitif terhadap kerentanan yang dihadapi oleh perempuan dan anak.

Beberapa hal yang diatur dalam pedoman tersebut, misalnya dalam proses pemeriksaan bahwa jaksa tidak boleh mengeluarkan pertanyaan yang seksis, menimbulkan diskriminasi berbasis gender, dan membangun asumsi yang tidak relevan sehingga merugikan bagi perempuan dan anak yang menjalani pemeriksaan di pengadilan.

"Jaksa juga diharapkan dapat lebih menggali kondisi psikologi, relasi kuasa, respons psikologis maupun kondisi stereotip gender," ujarnya.

Pedoman ini juga memberikan kesempatan bagi korban dan saksi untuk didampingi, baik oleh pekerja sosial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), keluarga ataupun pendamping lainnya. Serta adanya perlindungan terhadap informasi dan indentitas korban atau saksi dalam hal kasus-kasus terkait seksualitas dan bagaimana pelaksanaan putusan dalam pidana tambahan dan pembuktian dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dalam menguraikan fakta dan perbuatan terkait dengan tindak pidana yang terkait kesusilaan Penuntut Umum sedapat mungkin menghindari uraian yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan dalam pembuatan surat dakwaan dan tuntutan demi penghormatan terhadap hak asasi, martabat, dan privasi perempuan dan anak serta mencegah reviktimisasi.

"Tidak hanya dalam proses pemeriksaan, pedoman ini juga mengatur proses dan teknis pemulihan bagi korban tindak pidana, baik melalui ganti rugi, restitusi, dan kompensasi," katanya.

939