Labura, Gatra.com - Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III Kisaran, Sumatera Utara (Sumut), Wahyudi, tak menampik kalau hamparan kebun kelapa sawit milik masyarakat di Desa Air Hitam Kecamatan Kualuh Leidong Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) itu, masuk dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) Nantalu.
Kawasan hutan sekitar 50 ribu hektar yang memanjang dari kawasan Asahan hingga ke Desa Air Hitam tadi.
"Kami tidak punya data administratif desa, batas desa di dalam kawasan hutan enggak ada sama kami, itulah makanya kami tidak punya data pasti, berapa luasan kawasan hutan di Desa Air Hitam itu," terang angkatan pertama Polisi Kehutanan (Polhut) dari sarjana ini, saat berbincang dengan Gatra.com, Selasa pekan lalu.
Memang, kata lelaki 49 tahun ini, kawasan hutan itu statusnya masih penunjukan, terakhir berdasarkan SK 579 tahun 2014.
Baca juga: Ulah HP, Petani Sawit Leidong Gigit Jari
"Kebanyakan kawasan hutan di Sumut memang masih status penunjukan. Tapi yang di Air Hitam itu, status kawasan hutannya sudah ada sejak jaman Belanda," ujarnya.
Sebelum menjadi HP kata Wahyudi, dulu hutan di desa itu berstatus hutan lindung, kemudian turun status menjadi Hutan Peroduksi Terbatas (HPT), lalu HP.
Walau masih berstatus penunjukan, status kawasan hutan di Desa Air Hitam itu kata Wahyudi, beda dengan kawasan hutan lain.
"Di-enclave (dilepaskan) bisa saja, tapi prosesnya akan lebih lama. Nah, untuk enclave biasanya ada sejarahnya. Kalau dari awal penunjukan, sudah diduduki masyarakat itu bisa di-enclave. Tapi ini kan dari jaman Belanda statusnya sudah kawasan hutan. Artinya, masyarakat masuk ke sana, posisinya sudah kawasan hutan," ujar Wahyudi.
Terkait solusi untuk masyarakat yang ada di sana kata Wahyudi, sedari tahun lalu, pihaknya sudah dua kali menggelar sosialisasi di Balai Desa yang ada di desa itu.
Waktu itu, perhutanan sosial disodorkan sebagai solusi. Ini sesuai dengan Perpres 88 tahun 2017 tentang penyelesaian persoalan tanah di kawasan hutan.
Konsepnya kata Wahyudi, masyarakat yang sudah terlanjur mengelola lahan itu, dihimbau membentuk kelompok yang disahkan oleh Kepala Desa.
Bisa saja dibentuk hingga 5 kelompok. Yang pasti, anggota kelompok adalah mereka yang benar-benar warga di sana, jangan orang lain.
Setelah kelompok berdiri, KPH kata Wahyudi akan memandu masyarakat menyusun draf permohonan Perhutanan Sosial kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kalau draf sudah selesai, permohonan itu diantar ke kementerian. Dari situ nanti, tim kementerian akan turun memverifikasi. Jika semua syarat sudah oke, izin perhutanan sosial akan dikeluarkan," Wahyudi mengurai.
Sembari menunggu Peraturan Pemerintah bidang kehutanan yang menjadi turunan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja rampung, pihaknya kata wahyudi menunggu reaksi masyarakat.
Baca juga: Sepenggal Cerita di Desa Air Hitam
"Kita memang akan menyelesaikan persoalan ini pakai PP itu, enggak pakai Perpres 88 2017 itu lagi," katanya.
Selalu Berupaya Persuasif
Walau berlatarbelakang Polisi Kehutanan (Polhut), Wahyudi tak mau memilih cara-cara represif saat berurusan dengan masyarakat yang kebetulan berada dalam klaim kawasan hutan.
"Di satu sisi, mereka rakyat Indonesia juga, itulah makanya kita lebih humanis meski di sisi lain, aturan tetap harus kita tegakkan," katanya.
Lantaran itulah kata lelaki 49 tahun ini, dalam bertindak, ada dua model yang dilakukan; persuasif dan represif.
"Saya masih punya harapan bahwa masyarakat akan memahami aturan hukum yang ada dan kami tak mau berbenturan dengan mereka. Sepanjang masih ada aturan yang memudahkan masyarakat, kami enggak akan mau mempersulit," kata Wahyudi.
Untuk itu, Wahyudi sangat berharap kesadaran masyarakat itu sendiri. "Sebelum kita turun, banyak di antara mereka beranggapan kalau lahan yang diduduki bukan kawasan hutan. kami maklumi itu dan kami gugah mereka, kami beri penyadaran kalau mereka menduduki kawasan hutan," ujarnya.
Kepada pendamping masyarakat terkait persoalan kawasan hutan itu, Wahyudi berharap supaya mereka memberikan pemahaman yang tepat kepada yang didampingi.
"Kalau salah memberi pemahaman, pendampingan yang ada justru akan menghambat dan akan membuat masalah jadi berlarut-larut. Kalau ini berlarut-larut dan kemudian masyarakat tidak mau mengikuti aturan pemerintah, mau tak mau upaya represif akan kami lakukan," tegasnya.
Abdul Aziz