Home Info Sawit Sepenggal Cerita di Desa Air Hitam

Sepenggal Cerita di Desa Air Hitam

Labura, Gatra.com - Desa Air Hitam Kecamatan Kualuh Leidong Kabupaten Labuhan Batu Utara (Labura). Tak mudah bagi warga yang dulunya masih masuk Desa Kelapa Batang ini, untuk mencapai ibukota kecamatan; Kualuh Leidong.

Mereka musti menumpangi speedboat kayu, menyusuri Sungai Kualuh selama 4 jam, baru sampai ke Kualuh Leidong.

"Biasanya kami berangkat pagi sampainya siang. Kalau mau lanjut perjalanan ke Tanjungbalai Asahan, kami menumpang Fery jam 01:00 Wib dini hari dan sampai jam 05:00 Wib subuh," begitulah keadaannya waktu itu," cerita mantan Ketua Kelompok Tani Bina Mandiri Desa Air Hitam, Supriadi, kepada Gatra.com, Senin pekan lalu.

Sekitar tahun 1994 kata lelaki 41 tahun ini, Desa Air Hitam berdiri, mekar dari Desa Kelapa Batang.

Perlahan kata ayah 4 anak ini, satu persatu perusahaan masuk ke sekitar desanya. Perusahaan itu kemudian membikin jalan tembus ke ibukota kecamatan.

Baca juga: Ulah HP, Petani Sawit Leidong Gigit Jari

"Alhamdulillah saat ini kami sudah lewat darat. Kami butuh waktu 2 jam untuk sampai ke ibukota kecamatan. Kalau musim hujan, bisa 4 jam," ujarnya.

Hanya saja kata Supriadi, akses jalan sepanjang 40 kilometer menuju ibukota kecamatan itu, justru dirawat sendiri oleh warga. Tiap tahun, tak kurang dari Rp1 miliar duit yang habis untuk merawat jalan itu.

Tadinya kata Supriadi, warga desa yang 50 persen adalah warga lokal, hanya menggantungkan hidup pada budidaya padi.

Tapi lantaran kondisi tanahnya tak memungkinkan --- asam tinggi --- perlahan masyarakat beralih ke kelapa sawit.

"Tahun '90 an sudah mulai ikut menanam. Itulah sekarang yang sudah harus diremajakan. Tahun 2017 kami sudah dapat info kalau pemerintah pusat sedang menggalakkan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)." cerita Supriadi.

Tapi waktu itu kata dia, banyak masyarakat tak percaya, itu lantaran iming-iming bantuan peremajaan yang dianggap terlalu besar. "Dari mana pula pemerintah mau ngasi duit sebanyak itu," kenang Supriadi.

Belakangan, Supriadi dan kawan-kawan mencoba peruntungan ikut PSR. tapi lagi-lagi masyarakat masih tak percaya. Mereka malah curiga kalau Supriadi dan kawan-kawan minta surat tanah warga difoto.

"Kecurigaan itu muncul setelah isu kawasan hutan santer. Apalagi setelah orang kehutanan datang ke desa mengasi tahu kalau tanah di desa kawasan hutan," katanya.


Abdul Aziz

 

 

3551