Labura, Gatra.com - Tahun ini Pemerintah Pusat membikin target untuk meremajakan sekitar 180 ribu hektar kebun kelapa sawit rakyat.
Meski sudah layak diremajakan sejak beberapa tahun lalu, sekitar 5000 hektar lahan warga di Desa Air Hitam Kecamatan Kualuh Leidong Kabupaten Labuhan Batu Utara Provinsi Sumatera Utara (Sumut), tidak akan bisa ikut menikmati program prioritas Presiden Jokowi itu.
Sebab otoritas kehutanan sudah memastikan kalau lahan yang sudah diusahai rakyat sejak tahun '70 an itu masuk dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HP).
Kepada Gatra.com, mantan Ketua Kelompok Tani (Poktan) Bina Mandiri Desa Air Hitam, Supriadi, cerita kalau klaim kawasan hutan itu baru ketahuan setelah otoritas kehutanan datang menggelar sosialisasi September tahun lalu.
"Di situlah ketahuan kalau dari sekitar 6500 hektar lahan kebun masyarakat, sekitar 5000 hektar adalah kawasan hutan," cerita lelaki 43 tahun ini Senin pekan lalu.
Memang kata ayah 4 anak ini, sekitar tahun '80an sudah ada cerita yang beredar di masyarakat kalau lahan penghidupan mereka berada dalam kawasan hutan, selain masyarakat awam dengan istilah itu, mereka juga tidak pernah menengok di mana batas kawasan hutan itu.
Setelah ada konflik lahan antara kelompok tani hutan dengan pekebun sawit pada 2019 kata Supriadi, cerita kawasan hutan muncul lagi ke permukaan.
"Jauh sebelum kami bertanam sawit, lahan kami itu diusahai orang tua dengan bertanam padi. Tapi hasilnya tidak memuaskan, dalam sehektar hanya bisa dapat 3 ton gabah. Itu terjadi lantaran asam tanahnya tinggi, airnya juga hitam. Itu pula makanya desa itu disebut Desa Air Hitam" Supriadi berkisah.
Seiring waktu, masyarakat menengok orang dan bahkan perusahaan mulai bertanam kelapa sawit. Dari situlah masyarakat Desa Air Hitam ikut-ikutan bertanam sawit meski kata Supriadi, masyarakat sama sekali tak mengerti seperti apa bertanam sawit yang benar.
"Pokoknya asal tanam sajalah. Bibit yang kami tanam pun kebanyakan mariles, mau beli bibit yang bersertifikat, duit tak ada. Makanya hasil kebun kami pun tak seberapa, paling tinggi 500 kilogram perhektar perbulan, ada yang cuma 200 kilogram perhektar perbulan. Saya sendiri punya cuma 1 hektar. Satu bulan cuma dapat 300 kilogram, paling banyak 500 kilogram," katanya.
Selama bertanam sawit kata Supriadi, semuanya dijalankan oleh masyarakat secara otodidak dan mandiri, tak pernah dibina oleh pemerintah.
"Walau begitu, semua lahan warga bersurat, surat itu dikeluarkan oleh pemerintah. Surat yang paling muda, keluaran tahun 1997," ujarnya.
Dulu kata Supriadi, warga di sana mengusahai lahan dulu baru kemudian diurus pancangan dan kemudian dikeluarkan surat.
Abdul Aziz