Pekanbaru, Gatra.com - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) sangat mengapresiasi kesepakatan Indonesia dan Malaysia untuk melawan diskriminasi kelapa sawit yang selama ini dilakukan oleh Uni Eropa (UE), Australia, dan Oseania.
Kesepakatan itu dibuat setelah Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin bertandang ke Jakarta dan bertemu Presiden Jokowi, kemarin.
"Ini gebrakan awal tahun yang luar biasa. Tapi di balik gebrakan ini saya malah kasihan menengok Presiden dan Wakil Presiden (Wapres). Sebab saya khawatir gebrakan ini hanya akan dianggap lewat saja oleh oknum pembantunya, khususnya menteri yang terkait dengan sawit dan permasalahannya," Ketua Umum DPP Apkasindo, DR (c) Ir Gulat Medali Emas Manurung, MP, saat berbincang dengan Gatra.com, Sabtu (6/2).
"Mereka akan pura-pura serius bekerja, tapi kenyataannya malah menikam dari belakang program strategis Presiden dan Wapres bidang kelapa sawit itu," tambahnya.
Bukti nyata tentang itu kata lelaki 48 tahun ini sudah ada. Pertama kata Gulat, meski banyak pakar bilang kalau tutupan hutan Indonesia masih nomor dua terluas di dunia --- masih ada sekitar 53 juta hektar --- tapi oknum pembantu Presiden dan Wapres justru berkampanye seolah-olah tutupan hutan Indonesia sudah sangat terancam.
"Untuk menghijaukan kembali hutan itu, 2,73 juta hektar kebun sawit rakyat, perkampungan, bahkan kota, dipaksa tetap berada dalam klaim kawasan hutan. Situasi ini sengaja didisain seolah-olah hutan sudah terancam habis dan kawasan hutan harus dihijaukan," tuding Gulat.
Baca juga: Mau Ikut Program PSR, SHM 1985 Malah Ditolak
Biar orang menganggap disain itu benar adanya, digandenglah sejumlah Non Government Organization (NGO) asing untuk berkoar-koar. Sawit pun langsung menjadi objek utama penyebab kerusakan hutan,” ujar ayah 2 anak ini.
Setelah sawit tertuduh, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang justru menambah biaya produksi kata Gulat dimunculkan.
Lalu didisain pula Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). "Bagi kami petani, ISPO ini tak jadi soal jika syarat ISPO tidak mengharamkan sawit dalam kawasan hutan. Tapi yang terjadi justru, sawit dalam klaim kawasan hutan tidak boleh ikut ISPO," katanya.
Di sinilah kata Gulat petani merasakan bahwa perlahan tapi pasti, "kami petani sawit khususnya yang diklaim dalam kawasan hutan, mulai ‘ditenggelamkan’,” ujarnya.
Urusan ISPO masih gonjang-ganjing, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang kehutanan hadir. Bagi petani menurut Gulat, inilah puncak dari upaya penenggelaman itu, termasuklah tanah-tanah rakyat, perkampungan yang diklaim dalam kawasan hutan.
"Jujur, kami petani ini sudah letih dikerjai oleh pasal-pasal tak masuk akal yang bermunculan di RPP, sementara pasal semacam itu tidak ada dalam batang tubuh Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) itu," ujar Gulat.
Gulat kemudian memberi contoh; Pada Pasal 25 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b Draft ke-22 RPP Penyelenggaraan Kehutanan disebut bahwa petani dalam kawasan hutan dapat diakomodir jika petani sudah menguasai lahan minimal 20 tahun. Padahal di UUCK disebut hanya 5 tahun.
Begitu juga soal luasan yang dikelola petani. Di UUCK, subjek hukum adalah "orang-perseroangan". Tapi di pasal 21 ayat (1) huruf c RPP, dibikin "tiap kepala keluarga".
Menurut Gulat, makna kedua terminologi tadi mengandung konsekuensi yuridis yang sangat mendasar sebab kepala keluarga bermakna jamak, sedangkan "orang-perseorangan" bermakna tunggal.
Itulah makanya kata Gulat, Apkasindo mengusulkan supaya redaksi pada pasal tadi diubah menjadi "orang-perseorangan" seperti yang ada dalam UUCK.
Perlu dicatat kata Gulat, sejak awal, Apkasindo justru mengawal dan mendukung lahirnya UUCK lantaran tujuannya sangat mulia; menyelesaikan banyak persoalan, termasuk persoalan sawit petani dalam kawasan hutan.
Idealnya ujar Gulat, UUCK adalah kilometer nol untuk memetakan mana kawasan hutan yang sudah tidak berhutan, dan mana yang masih berhutan yang wajib dipertahankan, itulah cita-cita UU omnibus law itu, bukan malah menggantung-gantung.
Baca juga: Pakar Ini Tuding KLHK Sabotase Program Presiden
Lihat saja kata Gulat, petani yang mengajukan untuk ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Desa Siabu, Kabupaten Kampar, Riau. Meski mereka eks warga transmigrasi era Presiden Soekarno tahun 1962, tapi masih dalam kawasan hutan, hutan lindung pula.
"Sawit dan sebagian karetnya sudah seumuran saya. Lantaran diklaim dalam kawasan hutan, hampir setahun nasib kelompok tani ini terombang-ambing," katanya.
Itulah salah satu ironi yang terjadi kata Gulat, padahal Presiden dan Wapres sudah mewanti-wanti agar jangan sesekali menyusahi rakyat, "Tapi saya tengok, ini dianggap angin lalu saja," tegas kandidat doktor lingkungan Universitas Riau ini.
Jauh sebelum RPP jadi gunjingan kata Gulat, petani beranggapan bahwa oknum pembantu Presiden dan Wapres ini ikut melawan kampanye negatif sawit yang selama ini ada.
"Tapi setelah RPP jadi gunjingan, di situlah kami petani paham bahwa ternyata oknum pembantu Presiden dan Wapres lah yang menjadi 'dalang' kampanye negatif itu. Mereka memuluskan kampanye negatif itu dan mereka kemudian berlindung di balik NGO-NGO asing pembenci sawit itu. Semua dilakukan dengan terencana, terstruktur dan masif," rutuk lelaki yang juga Ketua Bravo 5 Provinsi Riau relawan Jokowi-Amin ini.
Padahal sesungguhnya kata Gulat, para pembenci sawit itu tidak sepenuhnya membenci sawit demi lingkungan. Tapi pure lantaran politik dagang dan cemburu kenapa sawit bisa subur di Indonesia.
"Kalau di negara mereka sawit bisa subur, ceritanya akan beda. Mereka akan memuji sawit dan bilang sawit adalah penyelamat lingkungan dan sangat berperan menurunkan gas rumah kaca. Inilah yang tak disadari oknum pembantu Presiden dan Wapres itu," katanya.
Lantaran itu kata Gulat, Presiden dan Wapres harus gerak cepat mem"phase out" oknum pejabat negara yang berprilaku seperti itu, “Oknum pejabat semacam ini harus segera direplanting,” tegasnya.
Akhir Januari lalu kata Gulat, terungkap bahwa sawit adalah penyumbang O2 dan penyerap CO2 paling efektif. "Tidak ada tanaman yang sebegitu lengkap dalam capaian SDGs, 17 ukuran SDGs terpenuhi melalui sawit. Saya melihat kita jauh lebih baik mengurusi lingkungan ketimbang negara-negara pembenci sawit itu, hanya saja kita belum pandai memainkan kampanye-kampanye tentang hebatnya Indonesia menjaga lingkungan," ujarnya.
Soal istilah menusuk dari belakang tadi, pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Sudarsono Soedomo juga menuding Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK) serius menghambat dan bahkan mensabotase program Presiden.
Ini dikatakan lelaki 64 tahun ini setelah menengok sederet fakta yang ada. Mulai dari serampangannya klaim kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan yang sepihak, hingga porsi kawasan hutan dan lahan penghidupan rakyat yang jomplang.
"Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 sudah berumur lebih dari 20 tahun. Tapi penataan kawasan hutan malah makin berantakan. Anda bisa lihat sendiri, berapa ribu desa yang terjebak dalam klaim kawasan hutan, termasuk sejumlah kota, jutaan hektar lahan kehidupan masyarakat yang bahkan sudah turun temurun mereka ada di sana," katanya.
Hanya saja, Sekretaris Jenderal KLHK, DR. Bambang Hendroyono tak menggubris konfirmasi yang dilayangkan Gatra.com terkait berantakan dan tudingan sabotase sektor kehutanan itu.
Abdul Aziz