Jakarta, Gatra.com – Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Ignatius Yogo Triyono menegaskan, Kelompok Saparatis Bersenjata (KSB) di Papua diketahui terkonsentrasi di daerah yang masih tertinggal dari pembangunan. Salah satunya di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Menurut Yogo, Kabupaten Intan Jaya ini tergolong rawan, karena memang basis KSB dengan memiliki kekuatan sekitar 30-49 orang. Belum lagi bersenjatakan sekitar 15 pucuk senjata campuran baik dari rampasan milik TNI-Polri maupun senjata rakitan.
"Dan yang terbaru data dari Polda, meraka mendapatkan barang selundupan dari luar," jelas Yogo dalam diskusi daring dengan tema "Kekerasan dan Kejahatan KKB: Kapan Papua Bisa Aman?", Jumat malam (5/2).
Wilayah operasi yang kerap dilakukan oleh kelompok KSB ini, lanjut Yogo, ada di wilayah Sugapa, Intan Jaya, Gimba dan wilayah lainnya. Sebagai catatan, pada Kamis (4/2) terjadi kontak tembak antara KSB dengan anggota TNI di Titigi, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Tercatat, sampai bulan Januari 2021 ini, kata Yogo, kekerasan yang dilakukan KSB ini sudah banyak dan meresahkan masyarakat. Bahkan sampai menimbulkan korban dari masyarakat maupun TNI-Polri.
"Sampai Januari ini mereka sudah melakukan sebanyak 46 kejadian, kontak senjata dengan TNI-Polri 24 kejadian dan perampasan senjata dua kejadian, pembakaran pesawat dan melakukan penghadangan dan korbannya memang masyarakat dan TNI/Polri," jelasnya.
Selain selaku satuan Kosgab kewilayahan, TNI Cendrawasih juga melakukan pengawasan perbatasan dan juga melakukan operasi di tempat rawan. Operasi tempat rawan ini, kata Yogo, berbeda dengan yang dilakukan TNI di Timor-Timur, yang melakukan operasi yang aktif.
"Di Papua ini kami lebih bersifat statis, kami di pos, kemudian kami hanya melaksanakan patroli di wilayah sekitar pos dan lebih kepada pembinaan masyarakat, itu yang kami lakukan di pengamanan perbatasan maupun daerah rawan," ungkapnya.
Operasi lain yang dilakukan TNI tak hanya operasi pengamanan perbatasan, tetapi juga pengamanan di pulau terluar. Operasi ada 2 pulau terluar yaitu Pulau Bras dan Palindo. Di operasi tersebut pihaknya telah menggelar pola Ops Korem, yang berada di Jaya Pura itu ada tiga Batalyon, dan Pola Ops yang ada wilayah selatan, itu ada 2 Batalion—operasi di perbatasan.
“Kemudian operasi Pamrahwan, kami ada 3 Pola Ops Korem yaitu Korem 172 ada 1 Batalyon, 173 Biak ada 1 Batalyon dan 174 di Merouke ada 1 Batalyon," katanya.
Sedangkan di operasi perbatasan pulau terluar, lanjut Yogo, ada di Pola Ops 173 dengan kekuatan Marinir sekitar 20 orang.
Tindakan yang dilakukan KSB belakangan ini, lanjut Yogo, memang sangat meresahkan masyarakat maupun pihaknya. Apalagi sampai menimbulkan korban dari masyarakat maupun TNI. "Nah yang terakhir ini ada dua orang dari kami, sehingga sangat mengganggu dan masyarakat menjadi takut, sehingga kita melakukan pembinaan lebih, untuk menenangkan situasi, atas ulah saparatis bersejata ini," beber dia.
Sementara, Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya, Benny Mamoto mengatakan, masalah yang terjadi di Papua harus mendapatkan perhatian bersama agar ditemukan solusi atas persoalan yang kerap terjadi di tanah Papua ini. Di dalam perkembangan di lapangan ternyata ada rangkaian kasus kekerasan dan penembakan sampai dengan pembakaran yang ditemukan, sehingga sekaligis pihaknya ungkap.
“Saya memberikan apresiasi sangat tinggi kepada bapak Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika, karena beliau langsung memberikan respons cepat, pokoknya All Out, saya salut sekali, karena kami beberapa menghadap ke beliau, langsung memberikan arahan dan langsung melangkah dan ada hasil," jelas Benny.
Jenderal Andika, lanjut Benny, memberikan arahan dengan cepat. Ibarat penanganan kasus, arahan yang diberikan itu seperti melakukan penyidikan yang begitu cepat dalam menangani permasalahan yang terjadi di Papua ini.
"Mungkin ini penyidikan yang kilat, karena sangat cepat, yang kami lihat. Jadi secara transparan, sudah dirilis kepada media mengenai hasil pengungkapan kasus itu.
"Ada sudah proses penyidikan dan ada yang dikirim ke Odipur. Jadi memang dari kasus yang kami tangani masih ada kendala," kata dia.
Kendala-kendala yang dihadapi tim dari TGPF ini yaitu seperti izin gali kubur dan auotopsi dari pihak keluarga korban. Padahal, ketika pihaknya datang ke salah satu korban mereka sudah setuju agar kuburan maupun korban bisa di autopsi.
"Tapi setelah kami pulang ke Jakarta ternyata berubah, menyatakan mencabut, dan akhirnya kami kembali ke Jaya Pura bertemu dengan tokoh kemanusiaan, LBH untuk mempertanyakan, siapa yang mempengaruhi sehingga mereka mencabut dan akhirnya kita sepakat untuk menjelaskan kembali agar mereka mengizinkan proses ini menjadi jalan. Karena autopsi menjadi penting agar bisa terungkap," jelas dia.
Kasus yang pertama diungkap TGPF ini, kata dia, berawal dari kasus pembakaran di Tiadipa, karena ada pengakuan dari pelaku, sehingga menjadi pintu masuk, kemudian mengungkap kasus dua orang yang hilang di Koramil Sugapa.
"Nah setelah selesai bertugas, kami membuat rekomendasi kepada Pemerintah, Panglima TNI, Kapolri, Mendagri, termasuk Menkominfo, dan Menteri PUPR. Semua itu didasari dari hasil turun ke lapangan. Kemudian memotret kondisi di sana, sekarang bayangkan saja, kami turun ke sana mobil saja minjem dari pihak swasta, kantor Polres ada di Polsek, anggotanya hanya 7 personil, ini salah satu contoh kondisi rill disana," beber dia.
Hasil dari pemotretan ini, lanjutnya, menjadi rekomendasi seperti Menkominfo, karena jaringan disana agak kesulitan untuk melakukan komunikasi. Kemudian jembatan putus, yang menjadi kendala untuk menuju ke wilayah lain.
"Kemudian satu hal yang menarik, mengenai kondisi masyarakat disana. Kami sangat prihatin, dan tentunya menjadi pertanyaan kami, anggaran cukup besar Rp1 triliun, tapi kondisinya kok demikian, maka salah satu rekomendasi kami adalah pengawasan penggunaan APBD. Ini menjadi penting, apakah tepat sasaran," ungkap dia.
Temuan lainnya bagi TGPF di Intan Jaya, kata dia, yaitu tidak lepas dari masalah politik. Bagaimana setelah Pilkada, MK menyatakan salah satu pasangan sebagai pemenang, yang kemudian mendapatkan respon pembakaran salah satu kantor bupati, yang menjalar kepada konflik. Dan itu belum selesai secara tuntas.
"Nah ini tentunya juga rekomndasi kami masuk kesana, bagaimana Mendagri bagaimana masalah ini selesai sampai keakarnya dan kami dengar Kapolda juga sudah menangani masalah ini," paparnya.
Kemudian yang lain mengenai pembangunan SDM pendidikan di sana, padahal anggaran cukup besar, tetapi justru kondisi di sana bertolak belakang.
Marinus Yaung, akademisi Universitas Cenderawasih, mengatakan, kekerasan yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua punya latar, mereka mengklaim memiliki alasan untuk melakukan kekerasan kepada warga.
"Demikian pula kalau negara hadir dengan tujuan dan alokasi yang kuat mereka juga bisa meletakan senjata dan memberikan dan diajak untuk bergabung dengan pemerintah untuk membangun Papua bersama-sama. Karena tidak ada orang Papua yang dilahirkan untuk membenci dan melawan orang lain, semua manusia seperti itu," jelas dia.
Dia memastikan bahwa kekerasan yang terjadi di Papua selama ini, karena apakah mereka diajak, atau terancam. Itu yang kemudian membentuk pemikiran terhadap orang lain. Karena itulah ketika negara hadir dengan dengan pendekatan yang tepat, maka KSB ini yang melakukan kekerasan akan bisa diminimalisir dan diselesaikan dengan baik.
"Saya kebetulan beberapa tahun yang lalu bersama tokoh-tokoh, sehingga saya tahu persis. Sebenarnya meraka orang-orang yang bisa diajak untuk berdialog. Menurut saya dalam menanganai KSB ini, tindakan mereka diatur oleh orang diluar negeri, mereka diatur dari tindakan mereka oleh aktor intelektual yang ada diluar mereka," kata dia.
Negara, kata dia, seharusnya melakukan pendekatan-pendekatan. Karena ada tiga konsep, seperti Papua damai. Karena menurut aparat keamanan, Papua akan aman bila kelompok KSB ini tidak ada.
"Jadi konsepnya seperti itu, kalau Papua aman, maka tidak ada KSB atau Kelompok Kriminal Bersenjata, ini akan hilang," jelas dia.