Jakarta, Gatra.com - Sidang perkara penyebaran berita bohong dan keonaran dengan terdakwa pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Jumhur Hidayat, kembali digelar pada Kamis (4/2). Adapun agendanya adalah penyampaian jawaban atas eksepsi atau nota keberatan Jumhur oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Jaksa menyatakan, tudingan pihak Jumhur yang fokus pada persoalan surat dakwaan yang tidak sah, penangkapan serta penahanan terhadap Jumhur cacat formil, dan dakwaan JPU dinilai tidak cermat. Dalam jawabannya, jaksa juga menjelaskan bahwa penangkapan dan penahanan Jumhur Hidayat telah melewati penyidikan yang sesuai dengan ketentuan hukum.
Proses pemeriksaan dan penahanan pun juga dinilai sesuai Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bahkan selama proses tersebut, JPU mengatakan, baik Jumhur maupun tim hukumnya tidak merasa keberatan.
"Selama penyidik melakukan kewenangannya tersebut tidak keberatan baik dari terdakwa maupun Penasehat Hukumnya," kata jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (4/2).
Jaksa juga menolak dalil eksepsi Jumhur terkait dakwaan yang dianggap tidak cermat, jelas dan lengkap. Jaksa menegaskan bahwa surat dakwaan yang mereka susun sudah berdasarkan hasil penyidikan yang sah.
Atas dasar tersebut, JPU meminta majelis hakim tidak menerima keberatan dari kubu Termohon. "Dan kami mohon Majelis Hakim untuk tidak menerima dan mengesampingkannya," kata jaksa.
Sebelumnya, JPU mendakwa Jumhur menyebarkan berita bohong atau hoaks dan membuat keonaran lewat kicauan di akun Twitter pribadinya, terkait Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
JPU menilai perbuatan Jumhur di media sosial menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
"Terdakwa dalam menyebarkan informasi melalui akun Twitternya tersebut terdakwa memasukkan tulisan yang berisi kalimat-kalimat yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), yaitu golongan pengusaha dan buruh," kata jaksa di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (21/1).
Akibat kicauannya itu, JPU menilai ada polemik di tengah masyarakat terhadap UU tersebut. Jaksa juga menduga kicauan itu sebagai salah satu pemantik terjadinya rangkaian aksi penolakan UU Ciptaker yang dimulai pada 8 Oktober 2020.
"Akibat perbuatan terdakwa menerbitkan keonaran di masyarakat. Salah satunya, muncul berbagai pro kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja tersebut sehingga muncul protes dari masyarakat melalui demo. Salah satunya, demo yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir dengan kerusuhan," terang jaksa.
Adapun kicauan Jumhur yang dinilai bermasalah terhadap UU Ciptaker diunggah pada 25 Agustus 2020. Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengatakan, "buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah kiacuan yang diduga berbunyi seperti, "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".
Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang - Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.