Home Hukum LIPI Paparkan Empat Poin Tindak Korupsi di Tubuh Polri

LIPI Paparkan Empat Poin Tindak Korupsi di Tubuh Polri

Jakarta, Gatra.com - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) gelar diskusi daring bertajuk "Institusi Polri, Kepemimpinan Baru dan Masa Depan Demokrasi", pada Rabu (3/2). Pada kesempatan itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, M. Haripin, turut memaparkan hasil risetnya. 

Salah satu poinnya, dia menyoroti korupsi di tubuh lembaga Polri, utamanya di bawah rezim kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Dia mencatat, setidak terdapat empat aktivitas korupsi di kepolisian. Empat hal yang dikemukakan Haripin mencakup: invitational edge, slippery slope, noble cause, dan predatory policing. 
 
Pertama, invitational edge, di mana terjadi penyalahgunaan wewenang di kalangan perwira menengah tinggi dan polisi di lapangan. Penyalahgunaan tersebut berupa pemungutan dan penerimaan uang yang tidak sah dari pihak lain di luar institusi kepolisian. "Padahal polisi memiliki wewenang yang diberikan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 untuk melindungi melayani dan mengayomi masyarakat," kata Haripin. 
 
Kedua, slippery slope, yakni tindakan polisi dalam melakukan pemungutan kecil-kecilan, secara sporadis, termasuk gratifikasi, sogokan, dan hadiah dari pihak-pihak yang juga berasal dari luar kepolisian. Ini bisa terjadi dalam berbagai konteks, kata Haripin, misalnya, seperti dalam konteks penyidikan atau menindaklanjutin suatu laporan. 
 
Ketiga, noble cause. Menurut catatan Haripin, dalam beberapa riset diketahui bahwa saat polisi diwawancarai mengapa polisi bersedia menerima uang atau menerima bonus dari pihak lain, mereka mengatakan bahwa itu dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kesatuan atau operasional. 
 
Penerimaan tersebut dilakukan untuk alasan dan keperluan "baik" mencakup pembelian bensin dalam kegiatan patroli atau konsumsi personal dalam gelar operasi lantas, misalnya. 
 
Terakhir, predatory policing, yakni penggelapan, pencurian, penyelewengan wewenang yang dilakukan secara sistematis demi memperkaya diri sendiri, atasan, patron dan sebagainya. Contoh paling nyata, tutur Haripin, ialah keterlibatan petinggi Polri dalam kasus surat jalan palsu dan penghapusan red notice Djoko Tjandra, tersangka tindak pidana korupsi.
907