Jakarta, Gatra.com - Kalau tak ada kendala, lima tahun lagi, perkebunan kelapa sawit rakyat di 22 provinsi yang ada Indonesia sudah dijejali minimal 158 unit kilang Biohidrokarbon.
Kilang penghasil bensin super dengan kadar Oktan 110. Sangking tingginya, bensin super ini disebut bisa jadi minyak pesawat terbang.
Hadirnya kilang Biohidrokarbon ini disebut akan membikin kocek para petani kelapa sawit akan semakin membengkak.
Soalnya petani tidak akan kesulitan lagi mengantar Tandan Buah Segar (TBS) ke pabrik. Penyebabnya itu tadi, pabrik sudah dekat.
Ini persis seperti yang tertulis dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 109 tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Di butir 199 disebut "Pengembangan Teknologi IVO dan Bensin Sawit dengan Katalis Merah Putih yang terintegrasi dengan kebun sawit rakyat".
Selain hemat trasportasi, harga TBS juga bakal lebih tinggi lantaran biaya pengolahan TBS di pabrik Biohidrokarbon itu lebih murah ketimbang di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) konvensional.
"Kalau misalnya di PKS konvensional biaya olah TBS Rp153 perkilogram, di kilang biohidrokarbon hanya sekitar Rp95-Rp110 perkilogram," cerita Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia, Sahat Sinaga saat berbincang dengan Gatra.com, Selasa (2/2).
Memang kata ayah tiga anak ini, yang diolah oleh kilang Biohidrokarbon itu bukan Crude Palm Oil (CPO) biasa, tapi sudah CPO Plus alias Industry Vegetable Oil (IVO).
Bagi Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), DR. Tungkot Sipayung, inovasi bensin super ini akan menjadi sejarah baru dalam energi terbarukan dunia yang ditorehkan Indonesia.
Inovasi ini akan membikin impor BBM, khususnya bensin akan menukik, sebisa mungkin tajam. "Dari data Kementerian ESDM, konsumsi bensin di Indonesia terus meningkat. Tahun 2014 masih sekitar 30 juta kilo liter (kl), tapi 2019 sudah 35 juta kl. Kalau 50 persen saja bensin fosil diganti dengan bensin sawit, maka impor BBM kita akan sangat hemat," katanya kepada Gatra.com, Selasa 92/2).
Yang membikin Tungkot semakin senang adalah, untuk penyelamatan lingkungan, bensin sawit jauh lebih baik ketimbang bensin fosil.
"Kalau bensin fosil, itu menghasilkan polusi sulfur dan emisi gas sekitar 90 gram CO2/ MJ, sementara bensin sawit tidak menghasilkan polusi sulfur. Emisinya pun sekitar 60 persen lebih rendah ketimbang bensin fosil," ujar lelaki 55 tahun ini.
Dalam pengolahannya kata Tungkot, IVO beda dengan CPO yang menuntut TBS tidak boleh Asam Lemak Bebas (ALB) nya di atas 3 persen.
"IVO ini justru tidak mempersoalkan berapapun ALB nya. Semakin matang buah, semakin besar kandungan minyaknya, justru semakin bagus untuk bensin sawit," katanya.
Oleh ALB yang tak jadi persoalan itu kata Tungkot, menjadi keuntungan besar bagi petani yang selama ini menanggung beban biaya angkut TBS yang besar ke PKS, risiko mutu TBS rendah (ALB lebih dari 3 persen) dan menghadapi broker TBS.
"Pabrik-pabrik IVO secara bertahap akan terbangun di setiap daerah sentra sawit dan setiap pabrik IVO terhubung langsung dengan Depo-depo Pertamina di setiap propinsi. Dengan model seperti ini, konsumen BBM diuntungkan lantaran adanya penghematan biaya angkut pengadaan maupun distribusi BBM," Tungkot mengurai.
Pilot project IVO yang berujung pada kilang Biohidrokarbon ini kata Tungkot sudah dibuat sejak 2 tahun lalu. Sebentar lagi di Musi Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel) sudah akan diresmikan.
Lalu pabrik katalis merah putih yang merubah minyak sawit menjadi bensin sawit sedang dibangun di Cikampek, Jawa Barat (Jabar). "Secara keseluruhan semua sudah on the right track menuju era bensin sawit," katanya.
Nah, bensin sawit ini ujar Tungkot jelas menjadi solusi strategis bagi kebun sawit rakyat. Lantaran itu, petani sawit dan asosiasi petani sawit musti menjadi bagian terdepan mengawal kebijakan Presiden Jokowi ini.
"Jutaan petani sawit berharap bensin sawit itu terealisasi, tapi jutaan orang juga mencoba menghadang kebijakan itu," tegasnya.
Abdul Aziz