Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Panasbumi Indonesia (ADPPI), Hasanuddin, mengungkapkan, masalah pengusahaan bidang energi untuk pembangkit listrik bukan terletak pada perlu dibuat atau ditambahnya aturan baru.
Hasanuddin pada Jumat (29/1), menyampaikan, ini merupakan pesan dari dunia usaha yang tidak sampai kepada DPR dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Adapun yang menjadi persoalan adalah adanya ketidakpastian skema tariff listrik, kepastian sosial, dan menyelesaikan masalah perizinan yang panjang.
"Ketiga hal ini telah menjadi faktor risiko terbesar dalam pengambilan keputusan investasi di bidang energi, khususnya panas bumi," ungkapnya.
ADPPI menilai bahwa Rancangan Undang-Undang Baru Terbarukan (RUU EBT) tidak akan menyelesaikan masalah tersebut, justru akan menambah masalah baru terjadinya tumpang tindih dan disharmoni peraturan perundangan-undangan.
"EBT telah diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, sehingga yang diperlukan bukanlah pengaturan baru yang bersifat lex spesialis tentang EBT," ujarnya.
Adapun yang diperlukan terkait masalah ini, lanjut Hasanuddin, adalah peraturan pelaksana (peraturan pemerintah), khususnya energi terbarukan angin, biomasa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan lain-lain.
"Jadi yang diperlukan adalah aturan pelaksana atau operasioalisasi UU Energi, Nomor 30 Tahun 2007," katanya.
Ia mengungkapkan, terlebih berkenaan dengan PLTN, selain nuklir bukan bagian dari rumpun Energi Baru dan Terbarukan, tetapi juga nuklir sudah diatur tersendiri (lex spesialis) melalui UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Begitu pula dengan panasbumi telah diatur secara tersendiri di dalam UU Panasbumi Nomor. 21 Tahun 2014.
"Kita harus belajar dari PLTU dan PLTD, meskipun tidak ada Undang-Undang Energi Tidak Terbarukan, terbukti kedua jenis pembangkit ini dapat berkembang pesat," ungkapnya.
Artinya, ujar Hasanuddin, hal ini tergantung pada political will pemerintah, dalam hal ini keseriusan kementerian terkait, dan memberikan "pesan" atau masukan yang faktual, nyata, dan objektif kepada DPR dan Presiden tentang persoalan yang harus segera diselesaikan, yaitu kepastian skema tariff listrik yang memihak pada investasi pembangkit listrik bersumber dari energi terbarukan, mengatasi ketidakpastian sosial, dan perizinan yang panjang dan tidak rasional bagi investasi.
"Dengan langkah yang saat ini dilakukan pihak pemerintah, bukanlah menyelesaikan masalah yang menghambat tumbuhnya investasi yang berpotensi menyebabkan defisit energi, malahan memproduksi terjadinya surplus peraturan perundang-undangan yang akan menambah ketidakpastian usaha," ujarnya.