Home Internasional Tiongkok Kembali Lockdown Menjelang Imlek

Tiongkok Kembali Lockdown Menjelang Imlek

Otoritas Cina kembali memberlakukan lockdown setelah muncul banyak kasus positif Covid-19 baru. Penyebaran berawal dari banyaknya kegiatan perkumpulan, termasuk pesta pernikahan. Menjelang libur Imlek kian banyak kota yang di-lockdown.  


Ketika negara-negara lain masih meradang akibat anjloknya kondisi ekonomi di tengah pandemi, perekonomian Cina malah tumbuh positif setidaknya sejak per kuartal III 2020 silam. Terbaru, "Negeri Panda" tersebut menutup tahun dengan rekor pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5%. Pada November, Dana Moneter Internasional (IMF) optimistis bahwa skor GDP Cina pada 2021 bisa mencapai kenaikan 8,2%, walau kemudian pada Januari direvisi menjadi 7,9%.

Namun kini angka pertumbuhan yang indah itu kembali berhadapan dengan musuh tangguh: virus Covid-19. Pada Rabu, 13 Januari lalu, Pemerintah Cina mengumumkan temuan sejumlah kasus baru di sebuah provinsi yang mengitari Beijing. Virus itu diduga berasal dari sebuah pesta pernikahan di suatu desa dan menyebar dengan cepat. Alhasil, rata-rata kasus yang muncul mencapai 109 per hari.

Otoritas lantas memberlakukan lockdown di sejumlah tempat, termasuk di tempat paling parah yaitu ibu kota provinsi Provinsi Hebei, Shijiazhuang. Kota ini adalah pusat transportasi dan manufaktur penting untuk area tersebut. Penguncian wilayah juga diberlakukan di kabupaten tetangganya, Nangong, beserta ibu kota Xingtai. Total 17 juta penduduk di wilayah ini dijadwalkan menjalani lockdown hingga Selasa, 19 Januari, tapi belakangan dicabut pada Sabtu, 16 Januari lalu.

Lockdown diperluas hingga mencakup kota lain di pinggiran Beijing, Langfang, serta sebuah kabupaten di Heilongjiang, provinsi wilayah timur laut negeri itu. Di daerah ini, lockdown diberlakukan hingga Senin, 18 Januari lalu, dan masih diperpanjang hingga waktu yang belum ditentukan.

Pemerintah Tiongkok menutup layanan transportasi serta membatalkan izin pelaksanaan pernikahan dan pemakaman. Bahkan, konferensi Partai Komunis provinsi pun dilarang.

Sejumlah distrik di ibu kota juga ditutup. Beijing mengatakan pada Jumat pekan lalu bahwa semua orang yang kembali ke Cina dari luar negeri harus memantau kesehatan mereka selama tujuh hari setelah menyelesaikan karantina wajib selama 21 hari.

Semua orang lalu diwajibkan menjalani tes Covid-19, yang belakangan, seperti dilansir The New York Times, selesai dilaksanakan hanya dalam beberapa hari saja.

Dengan demikian, lebih dari 22 juta orang secara keseluruhan telah diperintahkan untuk tetap berada di dalam rumah. Ini merupakan dua kali lipat jumlah yang terkena dampak pada Januari 2020, ketika pemerintah pusat memberlakukan lockdown di Wuhan, tempat virus pertama kali dilaporkan muncul.

Sabtu, 16 Januari, mendadak muncul superspreader. Seorang salesman produk kesehatan diketahui telah berkeliling ke sejumlah kota di Provinsi Jilin. Deputi Direktur Komisi Kesehatan Jilin, Zhang Yang, menolak mengungkap detail identitas salesman tersebut. Pria berusia 45 tahun itu disebut tidak sadar telah menularkan virus corona karena kondisinya yang tanpa gejala (asymptomatic).

Akibatnya, menurut  South China Morning Post, muncul 96 kasus infeksi Covid-19 baru dan 119 kasus tanpa gejala. Pemerintah pun melakukan lockdown pada dua kota di provinsi yang berbatasan langsung dengan Korea Utara itu. Penelusuran kontak mengungkapkan bahwa sebelum diidentifikasi, salesman itu naik kereta di ibu kota Provinsi Heilongjiang, Harbin, dan dari tiga kota di Jilin: Changchun, Tonghua, dan Gongzhuling.

Sejak penyebaran terbaru virus Covid-19, terjadi hampir 700 kasus penuluran dan satu kematian pada awal tahun ini. "Sejak Desember 2020, klaster epidemi telah terjadi di Beijing, Sichuan, Liaoning, Hebei, dan Heilongjiang," ujar kepala Komisi Kesehatan Nasional (NHC), Ma Xiaowei.

NHC menuding penyebaran terbaru di wilayah timur laut itu akibat penularan dari sejumlah barang impor yang telah terkontaminasi, termasuk makanan beku dan dingin, kendati dia tak menunjukkan bukti nyata atas tudingan ini.

Meski demikian, pernyataan Ma bahwa penyebaran ini berasal dari pelancong yang baru kembali dari luar negeri, disepakati oleh banyak pihak. Otoritas menyebut, lockdown kemungkinan akan diperluas dan diperpanjang waktunya. Ada dua alasan untuk hal itu.

Pertama, ada kekhawatiran tentang varian virus yang lebih menular telah tiba di Cina. Termasuk varian dari Inggris dan Afrika Selatan. Namun, pemerintah masih memberlakukan pembatasan yang signifikan pada perjalanan dan periode karantina wajib yang diawasi, ada cukup banyak pergerakan penduduk, terutama melalui darat.

Kedua, hari raya Imlek yang jatuh pada 12 Februari mendatang. Tahun lalu, virus corona meletus persis sebelum liburan hari raya ini. Memastikan bahwa warganya tak perlu menghabiskan masa libur panjang dalam karantina adalah poin penting, baik untuk citra pemerintah maupun untuk kepentingan ekonomi dalam negeri. Mengingat, Tahun Baru Lunar itu adalah momen belanja besar-besaran.

Kementerian Transportasi Tiongkok memperkirakan perjalanan liburan Imlek tahun ini turun 40% dibandingkan dengan 2019. Tetapi, tulis The Guardian, artinya masih ada  jutaan orang akan menggunakan transportasi umum dalam waktu singkat.

Maraknya kasus di Hebei, telah melemahkan klaim Presiden Xi Jinping bahwa virus itu telah dihancurkan pada 2020. Bahwa pihak Barat yang salah menangani pandemi, sehingga memungkinkan muncul gelombang kedua. Xi selama ini mengandalkan kebijakan wajib tes bagi orang-orang yang pulang kampung dari luar negeri. Dia juga terlalu percaya pada kebijakan pejabat daerah yang menerapkan aturan yang mengancam juga melakukan pembayaran kompensasi.

Pakar isu Cina dari Enodo Economics, Diana Choyleva, mengakui terus mengawasi kemampuan Tiongkok melewati Maret 2021 tanpa wabah yang merebak besar-besaran. "Lockdown kedua melemahkan narasi bahwa virus telah berhasil dikalahkan. Xi tidak dapat melakukan lockdwon lagi tanpa merusak momen perayaan 100 tahun Partai Komunis Cina pada Juli tahun ini. Keputusan itu tidak hanya akan merusak selebrasi, melainkan juga bisa memperlambat pemulihan ekonomi," ia mengungkapkan.

Consultancy Capital Economics telah memproyeksikan tingkat pertumbuhan Cina sebesar 10% tahun ini, meskipun bisa terjadi penurunan sepanjang tahun. "Hantaman terhadap konsumsi dan jasa sebagian besar harus diimbangi oleh pabrik yang dapat mempekerjakan lebih banyak staf untuk bekerja selama liburan daripada biasanya," kata ekonom senior Julian Evans-Pritchard.

***

Sementara itu, Beijing mengalami kemunduran lain pada pekan ini. Vaksin Covid-19 yang dikembangkan Cina terbukti jauh kurang efektif daripada produk-produk sejenis buatan negara lain. Vaksin Sinovac sudah tertinggal dalam uji coba. Salah satu alasannya, karena keberhasilan relatif Cina hanya didapat dari jumlah data yang sedikit.

Dengan hasil efikasi 50,2% di Brasil, produk akhir hanya menyandang skor sedikit di atas standar WHO untuk penerapan. Hasil sebelumnya mengklaim efisiensi yang lebih tinggi. Tetapi otoritas uji coba Brasil menurunkan skor akhir hasil saat mereka menerapkan standar pengujian yang lebih baik.

Media pemerintah Tiongkok mencoba memutar balik kabar tentang kegagalan tersebut. Tetapi itu tetap menjadi pukulan besar bagi Beijing, karena diplomasi vaksin makin memanas. Mengingat, kebutuhan negara-negara yang tak mampu membuat vaksin terus bertambah. Cina telah menjanjikan puluhan juta dosis ke negara-negara yang telah meneken MoU Belt and Road Initiative (BRI), yang terdiri dari 138 negara, termasuk Indonesia. Di sisi lain, pejabat tinggi di negara-negara itu sekarang cenderung mencari vaksin AS atau Eropa yang lebih efektif.

Flora Libra Yanti