Jakarta, Garta.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang sengketa Pilkada serentak 2020. Berbagai perkara terkait Pilkada diajukan para pihak untuk diputuskan.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadhil Ramdhani, mengingatkan bahwa MK jangan sampai hanya memperhatikan soal perolehan suara. MK harus melihat melihat pelanggaran dalam penyelenggaraan Pilkada kemarin.
"MK tidak boleh melihat perkara di permukaan dan hitung-hitungan suara saja," kata Fadhil dalam Webinar bertajuk "Dalil Hoaks dan Model Baru Penggembosan Suara di Pilkada 2020".
Salah satu perkara perselisihan Pilkada yang diajukan ke MK, yakni dari pasangan Mulyadi-Ali Mukhni terkait Pilkada Sumatera Barat (Sumbar). Dalam perkara dengan register No: 129 / PHP .GUB-XIX / 2021 mereka mengajukan gugatan karena merasa dirugikan.
Mereka menilai penetapan tersangka terhadap Mulyadi 5 hari jelang pemungutan suara oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) kemudian perkaranya di-SP3 karena tidak cukup bukti setelah Pilkada, ini sangat merugikan dan memengaruhi perolehan suara.
Menurutnya, MK harus mendalaminya karena penetapan tersangka ini terbilang janggal. Ini harus digali lebih dalam karena jika tidak cukup bukti, mengapa pihak Gakkumdu menaikkannya ke penyidikan dan menetapkan tersangka.
"MK mesti memeriksa proses penegakan hukum seperti ini, apakah sudah benar dan akuntabel. Kasus Sumbar bisa kita melihat sejauh mana kita melihat proses penegakan hukum yang tidak profesional," ujarnya.
Sementara itu, Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif mencatat bahwa dari 132 permohonan terkait sengketa Pilkada ke MK, sebanyak 4 di antaranya mendalilkan soal haoks terkait kandidat atau kontestan, yakni Pilkada Sumbar, Kalimantan Tengah (Kalteng), Kota Surabaya, dan Kabupaten Banyuwangi.
Adapun hoaks yang terjadi di Sumbar, kata Ihsan Maulana, Koordinator Harian KoDe Inisiatif, dalam keterangan tertulis, Selasa (26/1), soal pasalon yang diisukan sebagai keturunan PKI. Kemudian, Mulyadi akan segera dipenjara pascaditetapkan sebagai tersangka.
Lain lagi di Kalteng, beredar foto menteri pertahanan yang mengacungkan tangan dinarasikan mendukung salah satu paslon. Padahal itu tidak terkait Pilkada.
Adapun kasus yang menimpa Mulyadi-Ali berawal dari laporan paslon lain kepada Bawaslu Sumbar soal tampilnya Mulyadi dalam salah satu acara di stasiun televisi nasional, sebagai pelanggaran pilkada.
Laporan tersebut lamban direspons Bawaslu. Pelapor lantas melaporkan Mulyadi ke Bareskrim. Tak berselang lama, Mulyadi pun ditetapkan sebagai tersangka.