Setelah tiga setengah tahun, blokade kuartet Arab terhadap Qatar kembali dibuka. Membuka peluang rekonsiliasi dengan Iran, Qatar siap menjadi mediator.
Penerbangan antara Qatar, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA) kembali mengudara pada Senin, 18 Januari lalu, setelah diblokir selama tiga setengah tahun. Hari itu, layanan Egyptair lepas landas dari Bandara Doha ke Kairo. Kemudian diikuti oleh kedatangan pesawat Air Arabia dari Kota Sharjah di UEA ke Doha.
Lalu-lalang penerbangan ini menjadi salah satu penanda kembali membaiknya hubungan antara Qatar dan negara Gulf Cooperation Council (GCC) atau Dewan Kerja Sama Teluk yang terjadi sejak 5 Juni 2017 lalu. Ketika itu, hubungan di negara-negara Arab memburuk saat kuartet Arab Saudi dan sekutunya, UEA, Bahrain, serta Mesir, memberlakukan blokade hubungan diplomatik, perdagangan, dan perjalanan terhadap Qatar.
Sengketa itu mengisolasi negara teluk kecil itu dan menjerumuskan kawasan tersebut ke dalam krisis diplomatik yang tidak terlihat sejak perang pada 1991 lalu saat melawan Irak. Sengketa juga mengungkap perbedaan ideologis yang dalam di kawasan itu. Kuartet Arab itu juga menuduh Qatar mendukung terorisme dan terlalu dekat dengan Iran. Namun tuduhan tersebut dibantah oleh Doha. Sebagai informasi, GCC adalah aliansi ekonomi yang terdiri dari enam negara di jazirah Arab, yakni Arab Saudi, UEA, Bahrain, serta Kuwait, Oman, dan Qatar.
Dalam laporan NBC News pada KTT Tahunan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota kuno Al-Ula pada Selasa, 4 Januari lalu, para pemimpin Arab saudi, Qatar, dan negara anggota dari GCC ditambah Mesir, berjanji menjalin solidaritas. Pada momen yang sama juga ditandatangani kesepakatan yang menandakan kembalinya aksi ke arah normal di kawasan Teluk Persia tersebut. Pada hari itu, untuk pertama kalinya sejak perselisihan pecah pada 2017, Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, tiba di Arab Saudi. Ia disambut dengan pelukan dari Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman. Pertemuan itu dinilai menandai hubungan yang menghangat antara kedua negara.
Islah di negara teluk ini tak lepas dari peran Kuwait sebagai mediator. Bahkan KTT itu diadakan sehari setelah Kuwait mengumumkan Arab Saudi dan Qatar telah mencapai kesepakatan untuk membuka kembali wilayah udara, perbatasan darat, dan laut antara kedua negara tersebut. Selain itu, untuk mengatasi dampak krisis teluk.
Kementerian Luar Negeri Mesir telah setuju melanjutkan hubungan diplomatik dengan Qatar. "Republik Arab Mesir dan negara bagian Qatar telah bertukar dua catatan resmi hari ini, 20 Januari berdasarkan kesepakatan dua negara untuk melanjutkan hubungan diplomatik," demikian ucapnya, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Menurut dua sumber intelijen Mesir kepada Reuters, Kementerian Luar Negeri Qatar mengadakan pertemuan dengan Pejabat Keamanan Mesir dan UEA pada Sabtu lalu. Hasilnya, Qatar tidak akan ikut campur dalam urusan dalam negeri Mesir. Sumber intelijen Mesir itu juga mengatakan, para pejabat menyetujui kerja sama ekonomi dan serangkaian pertemuan tentang masalah-masalah luar biasa, seperti Libya dan Ikhwanul Muslimin. Para pejabat setuju untuk memulihkan hubungan diplomatik antara Mesir dan Qatar yang masuk dalam fase "masa percobaan".
Namun hal itu dibantah oleh Pejabat Qatar bahwa tidak ada pertemuan tersebut. Menurut sumber itu, hubungan diplomatik dipulihkan melalui korespondensi tertulis yang merujuk pada Perjanjian Al-Ula.
***
Bila komunikasi Qatar dengan UEA dan Mesir terlihat baik, tidak demikian dengan Bahrain. Menteri Luar Negeri Bahrain, Abdullatif Al Zayani, mengkritik Qatar karena dinilai tidak mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalahnya dengan negara monarki di Teluk Persia itu. Pertanyaan itu disampaikan dalam posting kementeriannya di Twitter. "Qatar tidak menunjukkan inisiatif apa pun setelah KTT di Al-Ula (Arab Saudi) untuk menyelesaikan masalah yang tertunda dengan Bahrain," kata Al Zayani dikutip dari MEMO, Middle East Monitor.
Al Zayani juga mengungkapkan, kementeriannya mengirim surat tertulis kepada mitranya dari Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani. Ia meminta Doha mengirim delegasi resmi untuk memulai pembicaraan antara keduanya, tetapi belum menerima balasan dari Qatar. "Menantikan proses baru dalam hubungan dengan Qatar yang mempertimbangkan hak dan kepentingan masing-masing negara, melalui mekanisme jelas untuk memastikan hubungan yang lebih seimbang," katanya.
Terlepas dari protes Bahrain tersebut, berakhirnya konflik di Teluk Persia dengan dibukanya blokir Qatar ini, dinilai akan berdampak pada hubungan dengan Iran. Peneliti senior di Pusat Studi Strategis Timur Tengah (CMESS) di Iran, Abas Aslani, mengatakan bahwa rekonsiliasi krisis teluk memang tidak akan memengaruhi hubungan bilateral Teheran dan Doha. Namun hal ini akan memberikan perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.
"Perdamaian antara Arab Saudi dan Qatar tidak akan melemahkan hubungan antara Doha dan Teheran. Qatar akan menjaga hubungannya dengan Iran," katanya kepada Anadolu Agency. Namun demikian, menurutnya, Qatar dapat menggunakan perkembangan ini sebagai kesempatan untuk mediasi antara Iran dan negara-negara Arab di kawasan Teluk.
Pakar politik Payman Yazdani juga berpendapat, Qatar tidak akan mengikuti kebijakan anti-Iran setelah menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi. "Pemerintah Qatar mengikuti kebijakan yang seimbang antara Iran dan Arab Saudi, jika konflik antara Doha dan Riyadh kembali sebagai masalah di masa depan," katanya.
Namun juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Lolwah al-Khater, mengisyaratkan bahwa negaranya mau menjadi penengah antara Iran dan Amerika Serikat dengan telah berakhirnya kepemimpinan Presiden dari Donald Trump ke Joe Biden. Doha juga berkomitmen untuk terlibat dalam dialog konstruktif antara Teheran dan negara Arab di Teluk Persia. "Qatar telah menyatakan kesediaannya untuk memainkan peran (mediator damai dengan Iran-red) tersebut. Namun kami harus diundang oleh kedua belah pihak, yang masih ragu untuk mengambil langkah ini, dalam hal masuk dan terlibat dalam negosiasi langsung," kata al-Khater kepada kantor berita EFE Spanyol seperti dikutip Tehran Times.
Menurut al-Khater, Amerika Serikat berperan penting membuka dialog dengan Iran. Tidak kalah penting dari itu, yakni komunikasi Iran dengan negara GCC. "Dialog yang bermakna dan konstruktif dengan Iran, dialog yang akan melestarikan kolektif keamanan wilayah kami, hak-hak masyarakat kami, dan menjamin masa depan yang sejahtera bagi generasi mendatang," ia menegaskan.
Dalam hal ini, al-Khater mengungkapkan bahwa hubungan perdagangan Qatar dengan Iran dan Turki selama krisis blokade ini telah membantu pertumbuhan PDB dari negara emirat di semenanjung kecil Jazirah Arab tersebut. Menurutnya, Doha telah mendiversifikasi rantai pasokan dan memperkuat posisi sebagai pengekspor energi terbesar secara global. "Blokade adalah situasi yang tidak kami pilih, pastinya. Namun kami mampu menghadapi dan mempertahankan situasi. Mengakhiri blokade adalah tentang kepentingan kolektif seluruh wilayah kami, tidak hanya untuk kepentingan Qatar," ia menegaskan.
Pernyataan al-Khater ini muncul setelah Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, menyerukan dialog antara Iran dan tetangga Arab-nya untuk menyelesaikan perbedaan. Ia mengungkapkan harapan bahwa kedua belah pihak akan mengadakan pertemuan puncak untuk mengurangi ketegangan. "Saya baru saja menyebutkan kepada Anda bahwa ada perbedaan antara negara-negara dalam cara mendekati dialog semacam itu. Juga dari pihak Iran. Mereka telah beberapa kali menyatakan kesediaannya untuk terlibat dengan negara-negara GCC," katanya dalam wawancara baru-baru ini dengan Bloomberg TV.
Bin Abdulrahman menggarisbawahi bahwa waktunya harus tiba ketika negara-negara Arab Teluk Persia akan duduk di meja dengan Iran dan mencapai pemahaman bersama. "Kami harus hidup bersama. Kita tidak bisa mengubah geografi. Iran tidak dapat memindahkan GCC dari lingkungannya dan GCC tidak dapat memindahkan Iran dari lingkungan tersebut," lanjutnya.
Di sisi lain, Iran menyambut baik seruan Qatar untuk berdialog dengan negara-negara Arab di Teluk Persia. "Iran menyambut baik panggilan saudara saya FM @ MBA_AlThani untuk dialog inklusif di wilayah kami. Seperti yang telah kami tekankan secara konsisten, solusi untuk tantangan kami terletak pada kolaborasi untuk bersama-sama membentuk "wilayah yang kuat": damai, stabil, sejahtera & bebas dari hegemoni global atau regional," kata Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam twit-nya.
Birny Birdieni
- - - - - -
Kutipan:
"Qatar telah menyatakan kesediaannya untuk memainkan peran (mediator damai dengan Iran-red) tersebut. Namun kami harus diundang oleh kedua belah pihak, yang masih ragu untuk mengambil langkah ini, dalam hal masuk dan terlibat dalam negosiasi langsung."
- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Lolwah al-Khater
"Perdamaian antara Arab Saudi dan Qatar tidak akan melemahkan hubungan antara Doha dan Teheran. Qatar akan menjaga hubungannya dengan Iran."
- Pusat Studi Strategis Timur Tengah (CMESS) di Iran, Abas Aslani
- - - - - -
Catatan:
- Di paragraf terakhir ada kalimat "wilayah yang kuat" itu pakai tanda petik satu