Yogyakarta, Gatra.com - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai tak paham hukum saat merespons somasi sejumlah organisasi masyarakat sipil atas Peraturan Gubernur (Pergub) DIY tentang larangan unjuk rasa di sejumlah lokasi di DIY.
Hal itu disampaikan perwakilan Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) setelah Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta membawa penolakan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Pendapat Gubernur yang menyuruh gugat pergub ke PTUN merupakan kekeliruan yang parah," kata Tri Wahyu KH dari Indonesia Court Monitoring (ICM) yang turut bergabung di ARDY, lewat pernyataan tertulis, Minggu (24/1).
Pada Selasa (19/1), ARDY melayangkan somasi terbuka ke Gubernur DIY atas terbitnya Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka.
Pergub ini antara lain berisi pasal yang melarang penyampaian pendapat di lima area, yaitu Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Keraton Kadipaten Pakualaman, Kotagede, dan kawasan Malioboro.
ARDY pun mendesak Gubernur DIY mencabut dan membatalkan segera pergub tersebut. Sultan pun merespons dengan mempersilakan pihak-pihak yang keberatan pergub itu untuk menggugat ke PTUN.
"Gubernur dan jajaran pemerintahannya sama sekali tidak mengerti dan menguasai hukum. Padahal dalam lapangan hukum administrasi negara, jelas sekali perbedaan peraturan (regeling) dan keputusan (beschikking)," papar Tri.
Ia menjelaskan, peraturan adalah hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum dan mengatur hal-hal yang bersifat umum. Hal ini juga sesuai pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tri juga menjabarkan soal pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Di pasal ini, keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final.
"Artinya, keputusan tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Tindakan tata usaha negara dalam menyatakan kehendaknya dengan maksud terjadi perubahan dalam lapangan hukum publik yang bersifat umum seharusnya dituangkan dalam bentuk peraturan (regeling)," ujarnya.
Berangkat dari konsep peraturan dan keputusan, menurut Tri, pergub bukan keputusan atau ketetapan melainkan peraturan perundang-undangan yang berlaku umum.
"Maka dari itu, pengujiannya tidak melalui gugatan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, sebagai peraturan di bawah undang-undang, ia diuji ke Mahkamah Agung dengan mekanisme hak uji materiil," kata Tri.
Karena itu, Tri menilai pernyataan Gubernur DIY untuk membawa keberatan soal pergub itu ke PTUN menjadi pembelajaran buruk bagi masyarakat.
"Karena Gubernur sendiri tidak paham hukum, maka kita patut menduga Pergub Provinsi DIY Nomor 1 Tahun 2021, ialah produk hukum yang dibuat tidak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik," ujarnya.
ARDY pun menunggu itikad baik gubernur untuk lekas mencabut regulasi tersebut. Sesuai somasi itu, jika hingga tujuh hari Gubernur DIY tidak mencabut pergub, ARDY akan melaporkan penerbitan pergub ini ke sejumlah pihak.
"Ke Komnas HAM atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, ke Ombudsman Republik Indonesia atas dugaan mal-administrasi, dan ke Menteri Dalam Negeri RI atas dugaan pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik," tuturnya.
Pihak ARDY juga akan mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung untuk membatalkan aturan itu. "Pegub itu bertentangan dengan UUD 1945, UU Nomor 9 tahun 1998, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik," kata Tri.