Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam paparan kinerja akhir tahun lalu menyatakan telah menerbitkan daftar pencarian orang (DPO) terhadap 10 orang. Dari jumlah itu, 3 orang buronan di antaranya telah berhasil ditangkap.
Ketiga buronan yang berhasil dicokok itu, yakni mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi dan menantunya, RezkyHrbiyono, serta Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hinedra Soenjoto.
Sedangkan 7 orang tersangka yang masih diburu yakni Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya Itjih Nursalim (IN), Izil Azhar alias Ayah Marine, Harun Masiku, Kirana Kotama, dan Samin Tan.
Wakil Ketua KPK, Lili Pantauli Siregar, pada pekan ini menyampaikan, pihaknya akan membentuk satuan tugas khusus (Satgasus) untuk memburu para tersangka yang dinyatakan buron dan masuk dalam DPO.
Terkait rencana tersebut, mantan kuasa hukum SN dan IN, Otto Hasibuan, mengapresiasi langkah lembaga antirasuah. Namun demikian, ia mengkritisi soal status DPO kedua mantan kliennya.
Baca Juga: Kasasi Dikabulkan MA, Syafruddin Temenggung Langsung Bebas
Menurut pengacara senior tersebut, memasukkan SN dan IN ke dalam DPO ini bertentangan atau kontraputusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). Dengan putusan itu, SN dan IN harusnya tidak menjadi buronan dan masuk dalam DPO.
Dalam putusan pada tahun 2019 tersebut, MA menyatakan bahwa SAT tidak terbukti bersalah dan memerintahkan agar dikeluarkan dari tahanan dan direhabilitasi hak dan kedudukannya. Dengan demikian, lanjut Otto, perkara SN dan IN yang terkait kasus SAT, harusnya batal demi hukum.
"Status SN dan IN sebagai tersangka demi hukum telah gugur sejak SAT dibebaskan MA pada tahun 2019 karena kasus mereka bukanlah kasus yang berdiri sendiri," katanya.
Otto menjelaskan, dalam perkara ini, SAT, SN, dan IN diduga melakukan perbuatan melawan hukum secara bersama-sama. Adanya putusan yang menyatakan SAT tak bersalah karena perbuatannya bukan merupakan tindak pidana, maka kasus yang dituduhkan terhadap SN dan IN juga harus berlaku sama karena perkanya berkaitan.
"Perbuatan yang diduga dilakukan SN dan IN bersama-sama SAT dengan sendirinya juga bukan perbuatan pidana. Logika hukumnya kan begitu. Jadi kalau SN dan IN disebut masih berstatus DPO, hal itu adalah bertentangan dengan hukum," ujarnya.
Menurut Otto, KPK tidak mempunyai dasar hukum untuk menjadikan SN dan IN sebagai tersangka dan memasukkannya sebagai DPO. Dengan memasukkan kedua orang tersebut sebagai DPO, itu tidak mengindahkan putusan MA terhadap SAT.
Otto menyebutkan, perlu ada kepastian hukum, khususnya di masa krisis ini bagi kalangan usaha. Status tersangka dan DPO SN dan IN merupakan ketidakpastian hukum terhadap mereka, meski dasar perkaranya sudah digugurkan oleh MA.
Baca Juga: Hirup Udara Bebas, Syafruddin Temenggung Pamer Buku BLBI
"Ketiadaan kepastiaan hukum seperti ini sangat merusak kepercayaan nasional maupun internasional terhadap penegakan hukum di Indonesia," ujarnya.
Menurut Otto, putusan MA membebaskan SAT itu mempertimbangkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan LHP BPK Tahun 2017 yang bertentangan dengan hasil audit BPK tahun 2002 dan 2006.
Dalam LHP BPK 2017 lanjut Otto, dinyatakan ada kerugian negara. Menurut MA, LHP ini tidak sesuai dengan standar pemeriksaan audit yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, karena tidak diuji dengan LHP BPK Tahun 2002 dan 2006.
"Hasil audit BPK tahun 2002 dan 2006 tidak menyatakan adanya kerugian negara, bahkan laporan audit BPK tahun 2006 menyatakan SKL layak diberikan kepada SN karena sudah memenuhi kewajibannya," katanya.
Atas perbedaan tersebut, ujar Otto, MA dalam pertimbangan putusan perkara kasasi SAT menyatakan bahwa kerugian yang didalilkan Jaksa Penuntut KPK bersifat in dubio pro reo, dalam hal timbul keraguan atau ketidakjelasan dalam menentukan suatu kejadian, maka harus diputus dengan menguntungkan terdakwa.