Jakarta, Gatra.com - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listryarti, mengatakan, pihaknya menemukan potensi kerugian negara dalam pemberian kuota internet untuk siswa untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Retno dalam webinar bertajuk "Nasib Siswa di Tengah Pandemi" pada Sabtu (23/1), memaparkan tentang potensi tersebut bahwa siswa mendapat bantuan 35 gigabytes (GB) kuota internet untuk PJJ.
Dari jumlah kuota itu, 5 GB di antaranya merupakan kuota umum, atau bisa digunakan untuk mengakses berbagai hal di luar untuk paket belajar. Berdasarkan hasil survei KPAI atas bantuan kuota internet bulan Oktober 2020.
"Mereka minta kuota umum di tambah karena banyak materi yang mereka harus melihatnya di YouTube, guru-gurunya bikin video yang harus dibuka di YouTube," ujanya.
Menurutnya, dari 32 GB itu ternyata tidak semuanya maksimal dipergunakan, terutama pada siswa-siswa di luar Pulau Jawa dan perdesaan atau daerah-daerah terpencil, karena para guru tidak menggunakan aplikasi.
Baca Juga: Masih PPKM, Pemkab Blora Belum Akan Gelar Sekolah Tatap Muka
"Akhirnya ini [kuota] ngangur. Tetapi klaupun terpakai ada potensi kerugian negara. Dari data ini, kami dapat informasi dari Telkosel mislanya, bahwa harga 32 GB itu, 1 GB Rp1000 untuk kuota belajar," ujarnya.
Retno melanjutkan, kalaupun misalnya hanya dipakai Rp15.000 atau 15GB, maka kuota internet yang tidak terpakai setiap bulannya itu hangus. "Jadi ada potensi kerugian Rp15.000 per anak. Jutaan anak yang diberi. Jadi kalau misalnya angkanya yang tidak menggunakan maksimal, tarolah 20 juta saja, dan tiap bulan dikali 15 ribu maka ini menguap," katanya.
KPAI pun mengusulkan agar hal ini dievaluasi untuk diperbaiki, sehingga bantuan kuota internet yang berasal dari uang negara ini benar-benar terserap. "Artinya harus ada pemetaan kebutuhan. Ternyata tidak bisa semuanya disebalasduabelasin," katanya.
Belum lagi tidak semua siswa dan guru yang mendapat paket bantuan kuota internet ini tidak semuanya bisa memanfaatkannya untuk belajar secara daring atau PJJ, karena berbagai faktor, di antaranya tidak memiliki perangkat yang mendukung, tidak ada jaringan internet, dan sebagainya.
"Untuk yang tidak bisa daring, menurut saya harus mendapat bantuan yang lain dari pemerintah sebagai ganti dari kuota ini. Misalnya kalau tida puya alat daring, berarti pemerintah harus punya program memberikan alat daring, karena dulu pernah ada program 1 juta tab untuk mereka kategori miskin, ini harus dipikirkan kembali," ujarnya.
Baca Juga: Project Based Learning, Solusi Siswa Belajar Selama PJJ
Sementara itu, Dirjen PAUD Dikdasmen Kementerian Pendidikan (Kemendikbud), Jumeri, mengatakan, PJJ sudah berlangsung sekitar 10 bulan. Selama pandemi ini, sudah ada 3 Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri. SKB tersebut untuk memudahkan kepala daerah untuk mengabil keputusan terbaik dalam menentukan peyelenggaraan proses belajar mengajar di daerahnya.
SKB tersebut memberikan kewenangan untuk membuat sub-sub wilayah yang aman hingga berisiko tinggi guna menentukan penyelenggaraan proses belajar mengajar. "Ini fleksibelitas yang kami berikan," katanya.
Kemendikbud juga telah melakukan survei dan berkolaborasi dengan ?dinas dan daerah serta pihak terkait. "[Sebanyak] 90% siap tatap muka, tapi setelah ada PPKM [Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat] Jawa-Bali, maka konstalasinya berubah lagi," ujarnya.
Menurut Jumeri, sekarang baru 14% sekolah yang melakukan proses belajar tatap muka, selebihnya menerapkan PJJ, baik dalam jaringan atau daring, guru mengunjungi murid di rumahnya hingga murid dipanggil ke sekolah secara terbatas.
Kepala daerah juga tidak mau ambil risiko walaupun ada daerahnya yang relatif aman dari penyebaran Covid-19 demi menjamin keselamatan warganya. Kemendikbud, ujar Jumeri, akan terus mengevaluasi termasuk soal paket kuota internet. "Daerah-daerah 3T, kami akan pisahkan yang ?sulit internet dengan tidak sulit internet," ujarnya.