Jakarta, Gatra.com - Chief Strategist Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Yurdhina Meilissa, mengatakan bahwa Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) harus mempertimbangkan opsi karantina wilayah untuk dapat menangani pandemi Covid-19. Pasalnya, rumah sakit terancam kolaps.
Dengan kondisi demikian maka hanya terdapat dua opsi bagi pemerintah: menambah kapasitas tempat tidur di fasilitas pelayanan kesehatan, atau mengurangi infeksi wabah pada orang.
Dua pekan lalu, pada konferensi pers di Sekretariat Presiden, Menkes Budi mengatakan bahwa dia mendorong agar para pemilik dan direktur rumah sakit untuk meningkatkan BOR (bed occupancy rate) bagi para pasien Covid-19.
Menurut Meilissa, permintaan menteri kurang tepat. Menambah kapasitas di fasilitas layanan kesehatan, bagaimanapun, tidaklah sama dengan penambahan kapasitas seperti di hotel, misalnya. Penambahan itu harus sejalan dengan kuantitas perawat dan peralatan pendukung.
"Kalau tidak diatur zonasinya dengan benar, justru bisa membuat rumah sakit itu jadi klaster baru," ujar dia pada gelaran webinar CISDI bertajuk "Memo untuk Pak Menkes: Atasi Darurat Pandemi", Jumat (22/1).
Oleh karena itu, memasifkan 3T (testing, tracing, treatment), jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang tepat, hanya akan menambah beban layanan kesehatan: karena akan ditemukan lebih banyak orang yang sakit. Menurut Meilissa, hal itu sangat beresiko.
Dengan demikian, menurunkan mobilitas orang dengan melaksanakan karantina wilayah adalah jalan yang paling logis. Pasalnya, pihak otoritas dapat melancarkan 3T dengan maksimal pada kondisi yang lebih terkendali. Tanpa karantina wilayah, 3T tidak akan pernah menjadi opsi pemerintah.
"BGS masuk di situasi yang susah. Meski demikian, tidak ada toleransi mengenai menteri baru," kata Meilissa. Sudah satu bulan menjabat, lanjutnya, Menkes mestinya banyak eksekutif order pada hari pertama.
Pada kesempatan yang sama, Co-Leads LaporCovid-19, Irma Hidayana, mengatakan, dalam penanganan pandemi, pemerintah tidak membangun komunikasi yang baik dengan publik. Sebaliknya, pemerintah justru cenderung menyalahkan masyarakat.
Beberapa pernyataan keliru bahkan turut dilontarkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, misalnya. Airlangga pernah mengatakan bahwa testing yang dilakukan pemerintah Indonesia sudah jauh melampaui standar WHO: dalam satu pekan 288 ribu tes. Itu artinya sudah melebihi satu per seribu penduduk sesuai anjuran organisasi kesehatan dunia tersebut.
Menurut Irma, penjelasan tersebut menyesatkan. Pasalnya, kesenjangan jumlah tes ada di mana-mana. Sejauh ini, Jakarta dan beberapa kota besar di Pulau Jawa masih mendominasi jumlah tes terbanyak. Padahal pandemi menyerang berbagai daerah. "Provinsi lain jauh di bawah standar minimal. Airlangga salah. Tidak begitu memahaminya," ucap dia.