Beberapa hari terakhir ini kedamaian dan kemanusiaan kita tergangu oleh rentetan musibah, dari musibah pesawat terbang hingga peristiwa alam yang melanda sejumlah daerah seperti gempa bumi dan banjir bandang.
Dua peristiwa alam yaitu gempa bumi di Suawesi Barat (Sulbar), dan bencana banjir bandang Kalimantan Selatan (Kalsel), menjadi perhatian khusus Joko Widodo. Gempa di Mamuju-Majene, Sulbar, tidak menimbulkan banyak pertanyaan dari publik.
Namun, banjir bandang di Kalsel, menuai banyak pertanyaan dan pendapat, karena banjir bandang Kalsel diasosiasikan dengan kerusakan lingkungan hidup. Kurun waktu 50 tahun terakhir baru ada lagi peristiwa banjir sedahsyat terjadi di 10 kabupaten/kota ungkap Presiden, saat meninjau langsung lokasi terdampak bencana banjir Kalsel.
Data terakhir yang dilansir oleh Kabupaten Hulu Sungai Tengah, saja per 18/01/2021 ada 83 desa dari 10 kecamatan yang terendam banjir, 6 orang yang belum ditemukan dan 9 orang yang meninggal dunia, sedangkan 8.173 jiwa saat ini berada di pengungsian.
Menurut data Serikat Petani Indonesia (SPI), kerugian terjadi dilima daerah dengan kerusakan lahan pertanian terluas akibat banjir bandang, yaitu kabupaten Batola 64.133 hektar, Kabupaten Laut 37.440 hektar, Kabupaten Banjar 33.309 hektar, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 17.985 hektar, dan Kabupaten Tapin 16.479 hektar.
Dua Peristiwa
Saat berkunjung di Kabupaten Pelalwan, Riau, Presiden menyebut, Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di Riau, ada unsur kesengajaan terorganisasi. Indikasinya, lahan yang terbakar sangat luas. Namun berbeda saat meninjau langsung lokasi bencana banjir bandang di Kalsel, yang berada di Kelurahan Pakauman, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar. Presiden menyebutnya bahwa banjir bandang tersebut akibat tingginya curah hujan.
Kebakaran hutan dan banjir bandang dua peristiwa bencana yang berbeda namun keduanya adalah bencana ekologis (Walhi, 2020), yaitu suatu peristiwa alam atau bencana yang disebabkan oleh keikutsertaan manusia secara sistemik, destruktif dan massif menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kerugian ekonomi, konflik agrarian, pelanggaran HAM dan timbulnya korban jiwa.
Jika kebakaran hutan terjadi disebabkan oleh tindakan langsung secara destruktif, adapun banjir bandang diakibatkan oleh suatu tindakan sistemik dan destruktif. Namun kedua tindakan tersebut merupakan pengabaian dan kelalaian serta ketidak tegasan pemerintah dalam melindungi kedamaian dan keamanan hidup warganya dari ancaman, kekurangan dan gangguan atas sumber-sumber kehidupanya.
Tim tanggap darurat bencana LAPAN menyebut penyebab terjadinya banjir terbesar di Kalsel disebabkan oleh berkuranya hutan primer dan skunder terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sementara KLHK mengatakan penurunan luas hutan alam di Kalsel mencapai 62,8 persen.
Pada Hari Lingkungan Hidup se-Dunia 2020, Walhi Kalsel, telah mewanti-wanti pemerintah Daerah dan Pusat, bahwa Kalsel saat ini dalam kondisi urgen dan darurat ekologi. Sungguh Mecengangkan dan tak disangka, dari 3,7 juta hektare luas wilayah Kalsel, ternyata 50 % sudah dikuasai oleh konsesi pertambangan dan areal perkebunan besar kelapa sawit.
Itu artinya dari 13 Kabupaten/Kota yang ada di Kalsel, lebih dari separuh daratannya sudah dikuasai korporasi tambang dan perkebunan kelapa sawit. Tercatat 1.242.739 hektare atau 33% telah dibebani izin tambang dan 618.791 hektare atau 17% sudah dibebani izin perkebunan kelapa sawit, belum lagi izin HTI dan HPH.
Jika mengacu pada data-data faktual diatas, siapapun akan mudah berkesimpulan bahwa banjir bandang yang melanda 10 kabupaten/kota di Kalsel diakibatkan oleh ekploitasi sumberdaya alam.
Proposal Ekosida
Indonesia sedang menghadapi tantangan lingkungan hidup luar biasa dalam bentuk pemanasan global, polusi, kehilangan keragaman hayati, deforestasi, konflik agrarian dan degradasi layanan alam.
Krisis ekologis makin hari semakin dalam, kemungkinan akan jadi lebih buruk jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh. Eksploitasi sumber daya alam akan jadi ancaman keamanan hidup manusia akan lebih cepat daripada restorasi terhadap ekosistem alam.
Pada tahun 2019, Walhi merilis sejumlah kerusakan lingkungan hidup dan bencana ekologis di Indonesia. Bahwa 86 persen kerusakan lingkungan hidup, konflik agrarian dan bencana ekologis bersumber dari ketimpangan penguasaan dan ekploitasi sumber daya alam bersumber dari aktivitas legal atau mendapatkan izin dari pemerintah.
Kasus tersebut, korporasi diduga tidak patuh dan menomor duakan pencegahan kerusakan lingkungan hidup dibandingkan dengan ekspansi dan keuntungan. Oleh karena itu, persoalan lingkungan hidup hanya dianggap berupa pengaturan dan sanksi administratif berupa teguran, paksaan, pembekuan atau pencabutan izin yang diatur dalam UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH.
Dalam rezim lingkungan hidup Indonesia, kejahatan lingkungan hidup hanya sebagai pelanggaran administrasi, perdata dan pidana biasa, pada hal kejahatan lingkungan yang terjadi di Indonesia sudah mengarah pada tindakan kejahatan ekosida, dinama suatu tindakan kejahatan terhadap lingkungan hidup dilakukan secara sistimatis dan masif, berdampak luas dan jangka Panjang serta menyebabkan kedamaian dan keamanan hidup masusia terancam.
Ada tiga alasan utama untuk menggabungkan keprihatinan lingkungan hidup sebagai kejahatan luar biasa atau ekosida kedalam pelanggaran HAM yang berat:
Pertama, bahwa kualitas lingkungan hidup itu merupakan esensi dari kehidupan manusia yang melengkapi harkat dan martabat kemanusiaan. Termasuk didalamnya perlindungan terhadap hak sipil politik dan pemenuhan hak ekonomi, social dan budaya, oleh karena itu dibutuhkan Langkah hukum yang luar biasa untuk melindungi harkat dan martabat setiap orang dan kelompok masyarakat.
Kedua; Menempatkan keprihatinan dan kejahatan lingkungan hidup dalam tradisi kejahatan luar biasa merupakan respon terhadap ketidak mampuan hukum lingkungan hidup nasional bahkan internasional untuk menghukum para pelaku kejahatan lingkungan hidup atau ekosida yang mana cara-cara pengrusakan tersebut sudah melampaui dari kemampuan norma hukum yang tersedia.
Ketiga, pendekatan kemanusiaan dalam keprihatinan atas kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kejahatan ekosida akan lebih khusus untuk menjamin restitusi, rehabilitasi dan konpensasi kepada semua korban kejahatan ekosida.
Tahun 2021 adalah momentum yang tepat untuk segera mengajukan proposal ekosida menjadi kejahatan ketiga sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) untuk diakui kedalam undang-undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.***
Oleh: M. Ridha Saleh
Peneliti Senior WALHI Institut