Jakarta, Gatra.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) baru saja merilis riset terbaru terkait kebebasan pers dan keselamatan jurnalis selama masa krisis Maret-Oktober 2020. Peneliti hukum ICJR, Mulki Shader, pada Kamis (21/1), memaparkan beberapa fenomena terkait penyensoran berita yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Dia menyebut, dari 28 persen responden, yang terdiri dari 125 responden dari 84 media, mengatakan bahwa mereka pernah mengalami penyensoran. Adapun 60 persen di antaranya mengatakan bahwa penyensoran tersebut terkait dengan pemberitaan pandemi Covid-19 di Indonesia.
"Hal ini tentu harus menjadi perhatian kita karena, lagi-lagi, informasi yang disebarkan oleh media sangat penting menjadi bekal bagi masyarakat dalam menghadapi situasi pandemi," kata Mulki.
Yang menarik, praktik penyensoran terbesar justru berasal dari redaksi media itu sendiri, 34 persen responden mengatakan demikian. Dengan demikian, kata Mulki, apakah praktek swasensor ini merupakan wujud pelaksanaan fungsi dari redaksi dalam menyaring dan menyempurnakan pemberitaan atau karena rasa takut.
"Kami melihat agak sulit jika melepaskan fenomena ini dari praktik ketakutan yang dialami oleh media itu sendiri," ucap dia. Dalam catatan LBH Pers, misalnya, penggunaan pasal-pasal karet di UU ITE menjadi momok menakutkan bagi para pekerja media.
Selain itu, terdapat temuan lain terkait new school censorship--di mana terdapat praktik serangan cyber terhadap media. Sebanyak 23 persen responden menyatakan bahwa perusahaan pers tempat mereka bekerja pernah mendapatkan serangan cyber selama masa pandemi.
Adapun pada laporan LBH pers tahun 2020 menyebut bahwa terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Meski tidak terbilang besar, Mulki meyakini bahwa jumlah tersebut mencederai kebebasan pers di Indonesia.
Mulki juga menyebut mengenai prior restraint, di mana ada upaya untuk membatasi informasi sebelum informasi dipublikasikan. Hasil survei membuktikan bahwa 34,2 persen pelaku dari penyensoran merupakan pihak penyelenggara negara, baik pusat maupun daerah.
Misalnya, kata Mulki, larangan untuk meliput dan memberitakan demonstrasi massa oleh salah satu institusi negara dengan alasan menampilkan aksi anarkisme dan kericuhan. "Praktik ini sangat berbahaya karena bisa menimbulkan black spot atau titik hitam informasi sehingga masyarakat tidak dapat menjangkau informasi mengenai suatu kejadian," kata dia.
Dari hasil itu terungkap menyebut, 28,8 persen responden menyatakan pernah mengalami penghalangan kegiatan jurnalistik. Misalnya, dilarang untuk melakukan liputan atau pengambilan hasil liputan.
LBH Pers juga mencatat bahwa terdapat 14 kasus pelanggaran jurnalis sepanjang tahun 2020. Dimana 38,4 persen responden pernah mengalami penolakan akses informasi atau dokumen. Sementara itu 85,4 persen dari penolakan akses informasi adalah terkait pemberitaan mengenai Covid-19. "Mayoritas pelaku penghalangan kegiatan jurnalistik adalah aparatur pemerintahan atau negara," kata Mulki
Tim peneliti mencatat bahwa pelaku penghalangan berasal dari: 27,8 persen pemerintah pusat, 27,8 persen pemerintah daerah, 25 persen kepolisian, dan 13,9 persen masyarakat sipil. Sementara itu, pelaku penolakan informasi didominasi penyelenggara negara: 43, 8 persen pemerintah daerah, 35,4 persen pemerintah pusat dan 12,5 persen kepolisian.
213