Jakarta, Gatra.com- Masyarakat umumnya ragu terhadap vaksin setelah melihat tingkat efikasi yang dihasilkan. Padahal, WHO menyatakan efikasi di atas 50% sudah terbilang aman. Masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) akan berakibat buruk bagi kesehatan.
Padahal, efikasi vaksin COVID-19 produksi Sinovac mencapai 65,3%. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun telah mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA) atau izin penggunaan darurat. Presiden dan para menterinya pun sudah menjalani program vaksinasi.
Menanggapi maraknya kabar pro dan kontra terhadap vaksin Sinovac, Peneliti Bioteknologi dan Kimia Farmasi Bimo A. Tejo, Ph.D merasa heran dengan masyarakat yang menolak program vaksinasi. Ia pun mencontohkan kondisi imunisasi influenza di Amerika Serikat.
“Kok tiba tiba meributkan efikasi, jadi yang diluruskan, 50% itu contoh yang bagus. Vaksin influenza, efikasi tidak pernah lebih dari 60%. Namun, pemerintah AS tetap memerintahkan warganya untuk vaksin influenza. Buktinya, efikasi serendah 28%, 44 juta orang bisa terhindar dari flu,” tuturnya, Kamis (21/01/2021).
Untuk semakin meyakinkan kepada masyarakat bahwa vaksin COVID-19 yang beredar terbukti kemanjurannya, Bimo menjelaskan perihal tahapan uji klinis. Pengujian ini melibatkan relawan penerima vaksin dan plasebo. Darisanalah akan dibandingkan apakah mereka yang mendapatkan vaksin lebih kebal terhadap virus corona dibandingkan yang hanya memperoleh plasebo.
“Banyak kesalahpahaman, relawan terkena covid setelah vaksin. Ini prosedur protokol uji klinis. Dipecah menjadi 2 kelompok, mendapat vaksin dan plasebo. Mereka dilepas dan dibiarkan aktivitas biasa. Setelah dilihat, 18 orang terkena COVID-19 [dari kelompok] diberi plasebo. Angka efikasi 65,3% artinya kemungkinan lebih besar terkena [virus corona] kalau tidak divaksin,” katanya.