Purwokerto, Gatra.com – Sosok DR Tuswadi barangkali masih asing di Indonesia. Namun, ia adalah sosok fenomenal guru asal desa peraih master dan doktor pendidikan dari universitas ternama di Jepang,. Bahkan, ia juga telah menjadi jembatan emas bagi puluhan generasi tanah air mengikuti jejaknya, menempuh S-2 dan S-3, di Hiroshima University.
Diterima di Hiroshima University sebagai mahasiswa mandiri (tanpa beasiswa) pada awalnya bukanlah barang gampang-apalagi sebagai guru bahasa Inggris, Tuswadi tidak mendapatkan supervisor profesor bahasa Inggris.
Dengan kemampuan komunikasinya, dia berhasil meluluhkan Dekan Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC) Hiroshima University untuk menugaskan seorang profesor ilmu kebumian dan astronomi sebagai pembimbing akademiknya di program master in educational development (2009-2011)
“Ya bagaimana lagi, di IDEC tidak tersedia guru besar bahasa Inggris-mau tidak mau saya mencari jalan untuk memilih profesor yang kira-kira bisa mendukung risetku seputar pembelajaran bahasa Inggris di SD Jepang. Waktu itu saya pilih Profesor Hayashi Takehiro karena beliau juga berposisi sebagai Kepala SD dan SMP yang terafiliasi dengan Hiroshima University. Harapannya saya akan bisa menggunakan sekolahnya untuk riset thesis saya. Ternyata Dekan, menurut cerita Profesor Hayashi, benar-benar memaksanya agar berkenan menerimaku sebagai mahasiswanya karena tidak ada satu profesor yang cocok dengan bidang keilmuan saya,” terang Tuswadi yang awal karirnya ditempatkan sebagai ASN guru SMA Negeri 1 Sigaluh Banjarnegara di Provinsi Jawa Tengah.
Guru Ndeso tanpa beasiswa berani ke Jepang ini pun sempat menggegerkan dunia Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Hiroshima. Banyak rekan mahasiswa berseloroh, “Edan!”, “Nekad!”, “Bonek!” karena kebanyakan mahasiswa Indonesia di sana memang berbeasiswa penuh mengingat mahalnya biaya kuliah dan biaya hidup di Jepang. Setahun pertama Tuswadi pun mengalami kesulitan keuangan yang serius sehingga sampai dibantu oleh PPI dan mahasiswa internasional dari berbagai negara.
“Oktober 2009-September 2010 saya menjadi fakir miskin di Hiroshima. Rasanya sedih dan sengsara! Saya banyak dibantu oleh PPI dan para mahasiswa muslim dari berbagai negara. Ketika Jumatan, para jamaah mengumpulkan donasi untuk diberikan kepada saya dan mahasiswa lain yang mengalami kesulitan keuangan,” ucapnya, dalam keterangan tertulisnya.
Bertahan sebagai mahasiswa mandiri, di semester dua Tuswadi mendapatkan beasiswa Kumahira Cultural Foundation dan pada tahun kedua jalani S-2, dia berhasil memperjuangkan istrinya yang juga seorang guru bahasa Inggris meraih beasiswa prestigius Joint-Japan/World Bank Graduate Scholarship Program untuk menempuh S-2 di kampus yang sama. Sekeluarga dengan 3 anak akhirnya berkumpul di Hiroshima pada 2010.
“Rasanya seperti mimpi, dengan profesi guru di desa seperti saya dan IPK S-1 pas-pasan, istri saya mendapatkan beasiswa JJ/WBGSP yang disponsori oleh Pemerintah Jepang. Itu semacam mukjizat bagi keluarga kami,” aku Tuswadi.
Lantas silih berganti, setelah istrinya, para keponakan, dan adik ipar, puluhan sarjana dan master dari Indonesia Tuswadi bawa ke Hiroshima untuk menempuh S-2/S-3.
“Terlalu sayang kalau keberadaan saya di Hiroshima hanya bermanfaat bagi diri sendiri. Jadi selama 7 tahun di Jepang, ketika saya melihat anak-anak muda di Indonesia pantas secara akademis dan mental untuk studi lanjut, saya rekomendasikan mereka kepada para profesor untuk diterima sebagai mahasiswa paska sarjana di Hiroshima University. Ini saya lakukan secara cuma-cuma; tak seorang pun dari sekitar 38 lebih orang yang berhasil diterima di Hiroshima University melalui jasaku membayar saya. Gratis dan saya melakukan itu dengan susah payah demi mengangkat kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan,” jelasnya lugas.
Kini lulusan S-2 dan S-3 Hiroshima University hasil sentuhan Tuswadi banyak yang sudah kembali ke tanah air dan bekerja sebagai tenaga pendidik (dosen/guru), peneliti, dan staf di kantor organisasi baik di dalam dan luar negeri.
Sepak terjang Tuswadi selama di Hiroshima tidak cukup di situ. Kampus-kampus di tanah air yang ingin melakukan kerjasama dengan almamaternya juga dia mediasi seperti Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Semarang, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas 17 Agustus Surabaya, Politeknik Harapan Bersama Tegal, Universitas Muria Kudus, Universitas Nahdlatul Ulama Jepara, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dan yang lainnya.
Kegiatan berupa studi banding, pertukaran mahasiswa, joint-seminar, pengiriman dosen studi lanjut dan sejenisnya terlaksana melalui upaya yang Tuswadi lakukan sendiri secara sukarela. Tidak kalah heboh, sebuah ruangan di Hiroshima University berhasil Tuswadi perjuangkan sebagai mushala bagi mahasiswa muslim.
Tujuh tahun jalani S-2, S-3, dan riset post doctoral (2009-2016), Tuswadi sukses men-doktor-kan isterinya di Hiroshima University dengan beasiswa dari LPDP-Kemenkeu RI dan dua keponakannya telah raih M.Ed bersama puluhan anak-anak muda Indonesia lainnya. Melihat berbagai kemudahan diberikan oleh kampus Hiroshima University kepadanya, ada satu guru besar di Jepang berseloroh menjuluki Tuswadi “Kaisar Jepang ala Indonesia”.