Yogyakarta, Gatra.com - Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X memecat dua adik tirinya dari jabatan penting di keraton melalui surat tertanggal 2 Desember 2020. Langkah itu dinilai memperlihatkan perebutan kekuasaan politik di keraton semakin kasar.
Foto surat yang tersebar di wartawan DIY pada Selasa (19/1) menunjukkan pemecatan itu melaluiDawuh Dalem (Perintah Raja) nomor 01/DD/HB.10/Bakdomulud.`XII/JIMAKIR.1954.2020. Surat itu menyatakan Gusti Bandara Pangaren Harya (GBPH) Yudaningrat dan GBPH Prabukumo (semestinya Prabukusumo) dicopot sebagai 'penggedhe' atau pejabat di Keraton Yogyakarta.
Surat itu dicap dan ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Bawono Ka-10 selaku Raja Keraton Yogyakarta. Surat itu juga menyatakan jabatan yang ditinggal keduanya diisi oleh putri Sultan.
Putri sulung Sultan, GKR Mangkubumi, diangkat sebagai Penggedhe Kawedanan Hageng Punakawan Parwabudaya yang tugasnya merawat masjid, petilasan, dan makam milik keraton. Sedangkan putri bungsu Sultan, GKR Bendara, menjadi Pengedhe Nityabudaya yang berwenang mengurusi museum dan kearsipan.
"Kemuculan surat ini mau tidak mau memperlihatkan politik keraton yang sebelumnya santun dan cantik menjadi terbuka serta cenderung bermain kasar," kata Guru Besar Program Doktor Politik Islam-Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Tulus Warsito saat dihubungi Gatra.com, Rabu (20/1).
Dalam perspektif ilmu politik, Tulus mengartikan politik keraton yang klasik tak selamanya berada dalam pertandingan dan arena yang juga klasik. Semua berubah seiring faktor lingkungan media dan komunikasi politik di dalam keraton yang juga berubah.
Atas kondisi ini, Tulus menjelaskan, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa karena kebijakan di keraton itu tidak bisa diutak-utik kecuali oleh Sultan sendiri. Kendati begitu, dalam perkiraan Tulus, Sultan sebenarnya sudah mengetahui dampak negatif atas keputusannya itu.
"Jadi hasil diskusi ini sebenarnya kita arahkan ke Njero Beteng (internal keraton) untuk mengingatkan mereka bahwa keadaan semakin terbuka dan mereka seharusnya hati-hati dalam membuat keputusan politik. Jangan anggap masyarak tidak tahu dan diam," ujarnya.
Melalui pesan tertulis ke media, GBPH Prabukusumo menyatakan sabar atas putusan itu. Ia menyebut dirinya sudah enam tahun tidak aktif di Keraton Yogyakarta, yakni sejak Sultan menyatakan Sabda Raja yang dianggap melanggar paugeran atau aturan adat keraton.
Sabda Raja diucapkan Sultan pada 2015 untuk mengubah gelar dirinya dan gelar putri sulungnya. Sabda Raja dinilai persiapan Sultan menjadikan si putri sulung sebagai penerusnya dan ditentang oleh Prabukusumo dan sejumlah adik Sultan.
"Lha menawi kulo saha Dimas Yudho dipun jabel kelenggahanipun (Jika saya dan adik Yudho dicabut jabatannya) artinya kan di pecat to. Warga DIY tahu kalau saya dan dimas Yudho itu tidak salah! Yang salah itu ya Bawono! Wong ora ana klera-klerune (tidak punya salah) kok dipocot!," tulis Prabukusumo.
Prabukusumo juga menulis mengapa orang salah tidak mau mengakui kesalahannya, tapi malah memecat pihak yang mempertahankan kebenaran dan mempertahankan adat Keraton Yogyakarta.
Dalam surat itu, Prabukusumo juga mempersoalkan penulisan nama Sultan Hamengku Bawono Ka-10. Nama ini diubah Sultan sendiri lewat Sabda Raja dan tak diakui Prabukusumo. "Keraton Yogyakarta tidak mengenal nama Bawono. Artinya surat itu batal demi hukum," tulisnya.