Jakarta, Gatra.com - Lelaki 64 tahun ini sudah tak aneh lagi menengok begitu banyaknya pemukiman, pemukiman transmigrasi yang berkembang menjadi desa, desa tua, kecamatan bahkan kabupaten, berada di dalam klaim kawasan hutan.
Termasuk juga tegalan, kebun, kebun campuran, sawah produktif, fasilitas sosial, fasilitas umum seperti masjid, klenteng, gereka dan makam yang umurnya sudah lebih tua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Yang semacam itu banyak saya temui di Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Kalimantan. "Masa sih yang seperti ini masih masuk dalam kawasan hutan. Ini tragis, situasi inilah yang membikin kondisi Negeri ini enggak pernah stabil," kata Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc, saat berbincang dengan Gatra.com, Senin (18/1).
Padahal Negara ini kata Budi luas daratannya mencapai lebih dari 190 juta hektar, tapi itu tadilah, luasan itu, 2/3nya justru dijadikan kawasan hutan.
Penduduk yang jumlahnya lebih dari 270 juta orang, cuma kebagian 1/3nya yang kalau dihitung-hitung, hanya 67 juta hektar. Luasan ini jauh di bawah luas izin konsesi yang diberikan KLHK kepada perusahaan yang sudah mencapai 71,2 juta hektar.
"Kondisi ini sangat timpang dan bakal menimbulkan berbagai masalah yang berkepanjangan. Biar itu tidak terjadi, makanya harus segera diselesai. Waktunya kapan? Ya mulai sekarang. RPP-RPP tindak lanjut Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) musti mengacu kepada tujuan UUCK, biar Negeri ini lebih cepat maju," ujar Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Baca juga: Guru Besar IPB: Sekali Pukul Rakyat Selesai...
Kalau Negara ini ingin melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) kata lelaki kelahiran Madiun ini, semua hak-hak rakyat tadi harus dikeluarkan dari kawasan hutan.
"Kalau hak-hak yang sudah jadi tumpuan hidup masyarakat itu dikeluarkan dari kawasan hutan, tentu akan memberi kesempatan bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengukuhkan hak (Right), pemerintah membuat pembatasan (Ristriction), dan memberi tanggungjawab (Responsibility) kepada masyarakat dan pelaku usaha atas aset dan usahanya," katanya.
Tapi jika itu tidak dilakukan, maka upaya membuka dan menumbuhkembangkan lapangan kerja akan terhambat, angka penganggur meningkat, produktivitas lahan mentok, kegiatan usaha terganggu dan tentu ekonomi juga akan terganggu.
Investasi juga tidak akan bisa ditingkatkan, alhasil Pendapatan Domestik Bruto (PDB) boro-boro bisa dikembangkan, yang ada malah menurun.
Industri, ekspor, dan neraca perdagangan RI bakal terganggu, kampanye negatif atas produk ekspor Indonesia pun tak akan bisa dibendung.
"Penerimaan pajak melandai, stabilitas sosial-keamanan bakal kurang stabil. Semua kondisi tadi akan berkontribusi pada terhambatnya pembangunan berkelanjutan. Kalau sudah seperti ini, kapan cita-cita membangun masyarakat makmur dan sejahtera bakal kesampaian?" Budi bertanya.
Baca juga: Waduh! Para pakar Ini Pertanyakan RPP UUCK
Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) ini mengaku bahwa semua persoalan yang dia tengok di lapangan tadi, sudah dia sampaikan dalam rapat harmonisasi RPP secara online pada Sabtu (16/1) lalu.
"Saya sudah sampaikan langsung kepada Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa hak-hak masyarakat perlu diakui dan dihormati, apalagi kawasan hutan mayoritas masih berdasarkan penunjukan," cerita Budi.
Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono kata Budi mengatakan akan memperhatikan semua yang dibilang Budi tadi. "Kita tengok saja nanti di RPP Kehutanan dan Perkebunan seperti apa, kebetulan masih akan ada harmonisasi di Kemenkumham," ujar Budi.
Yang pasti kata Budi, kalau KLHK menyebut bahwa kawasan hutan yang sudah dikukuhkan sudah lebih dari 80 %, legitimasinya musti dilihat dulu.
"Sebab kalau masyarakat enggak diajak berembuk dalam penentuan batas, legitimasi kawasan hutan yang dikukuhkan itu rendah dan sangat berpotensi menimbulkan konflik agraria yang tak pernah selesai," tegasnya.
Jadi, melakukan tatabatas kata Budi musti melibatkan masyarakat, Undang-Undang mengatur itu, biar batas kawasan hutan itu legitimasinya tinggi.
"Masyarakat yang sudah punya hak atas tanah (HM, HGB, HGU,) dan alas hak atas tanah (SKT, girik, letter c, dan surat-surat terkait penguasaan dan pemilikan tanah), hak ulayat masyarakat hukum adat harus dihormati dan dikeluarkan dari kawasan hutan," pintanya.
Saat melakukan tata batas, silahkan saja KLHK memakai teknologi citra satelit, GPS, GIS dan lainnya, "Tapi ingat, kalau tata batas itu tidak melibatkan masyarakat, tidak partisipatif, maka batas-batas itu, termasuk batas kawasan hutan, legitimasinya rendah. Dampaknya, kelestarian hutan justru akan sulit dijaga dan rentan," katanya.
Tapi kalau proses di atas dilakukan dengan benar, batas ditentukan bersama-sama, otomatis batas kawasan hutan akan semakin jelas dan mempunyai legitimasi tinggi. "Artinya, batas itu diakui masyarakat dan akan dijaga pula oleh masyarakat," ujarnya.
Budi yakin, disaat KLHK mengakui hak-hak masyarakat, Negeri ini akan bisa lebih cepat maju. "Lahan hutan kita masih banyak. Sungguh ironi, Negeri yang katanya Negeri agraris, tapi sebagian besar bahan sembakonya malah impor," suara Budi terdengar bergetar.
Abdul Aziz