Home Kesehatan Genteng Bocor & Membeludaknya Antrean Pasien Corona di Yogya

Genteng Bocor & Membeludaknya Antrean Pasien Corona di Yogya

Yogyakarta, Gatra.com - Mayoritas rumah sakit rujukan pasien Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta penuh. Pasien antre, sulit dapat kamar, tak dapat perawatan layak, hingga sebagian wafat. Buah tak terkendalinya pandemi karena keliru penanganan di hulu. Solidaritas warga coba membantu.

Akib Aryo, 26 tahun, merasa tak enak badan di medio Desember lalu. Tubuhnya lemas dan panas selama sepekan. “Kepala kayak dipaku. Badan kayak babak belur. Pengalaman demam saya sebelumnya enggak sesakit ini,” tutur pekerja kreatif, warga Kota Yogyakarta, ini.

Dengan kondisi itu, dan sejumlah rekan kantornya positif Covid-19, Akib pun menjalani tes usap PCR. Saat tes PCR menunjukkan Akib positif Covid-19, kakak dan kawannya mencarikan rumah sakit (RS).

Tiga RS yang dihubungi menyatakan penuh, bahkan terdapat antrean di instalasi gawat darurat (IGD). Akib akhirnya dilarikan ke sebuah RS swasta. “Itu pun tidak bisa menjanjikan rawat inap karena saya dikategorikan (bergejala) ringan – sedang,” ujarnya.

Setelah dokter mendapat penjelasan soal penyakit penyertanya, Akib pun dirawat inap. Di kamarnya, selain menjalani perawatan, Akib merasakan hiruk-pikuk RS itu menangani pasien di masa pandemi. “Perawat saya bilang kamar penuh semua. Perawat mondar mandir, kamar-kamar kayak penuh. Banyak pasien masuk juga,” ujarnya.

Akib mondok sejak 26 Desember 2020 hingga 4 Januari 2021. Ia pulang dalam status masih positif-- aturan Kementerian Kesehatan membolehkan saat pasien tak lagi bergejala. “Waktu pulang, saya juga lihat di ruang tunggu ada pasien dengan ventilator,” tutur dia saat dihubungi Minggu (10/1).

Kesulitan mengakses RS dan situasi membeludaknya pasien pun tampak di sejumlah RS. Di Kabupaten Bantul, Selasa (12/1), RS (Pembina Kesejahteraan Umat) PKU Muhammadiyah mengumumkan menutup IGD sejak dini hari sampai jam 12.00 WIB. Malamnya, giliran RSUD Panembahan Senopati juga menyampaikan tak menerima rujukan pasien dan meminta dialihkan ke RS.

Direktur Pelayanan Medik RS PKU Bantul, Nurcholid Umam Kurniawan, sebelumnya mengakui kamar untuk pasien terkait Covid-19 di RS itu penuh hingga sejumlah pasien antre di IGD. “Memang terlalu penuh. Kalau (dinyatakan) kosong, saya tidak tahu yang mana yang dimaksud pemerintah. Semua full,” tutur Umam, Kamis (7/1).

Saat itu, kata Umam, RS PKU mengalami kelebihan kapasitas. Tiga pasien tak dapat kamar perawatan, salah satunya bahkan sudah menunggu selama dua hari. Padahal selama pandemi PKU Bantul terus menambah kapasitas tempat tidur untuk pasien Covid-19.

Dari 3 lalu 9 ranjang, mulai Oktober disediakan 35 tempat tidur, termasuk 13 ranjang perawatan intensif untuk pasien kritis. Sebulan ini PKU Bantul juga berupaya menambah ruang isolasi lagi sesuai imbauan pemerintah.

“Mulai Oktober over capacity. November masa paling sulit karena harus upgrade semua. Puncaknya Desember. Ternyata Januari ini enggak kalah. Setelah liburan, 1-2 minggu ke depan naiknya (jumlah pasien) bisa luar biasa,” kata dokter spesialis anak ini.

Menurut Umam, hampir semua pasien yang datang di PKU Bantul mengalami kondisi darurat. “Tidak bisa kami tolak, RS lain pun tidak bisa menampung,” kata dia. RS PKU pun menangani pasien semaksimal mungkin.

Namun, bukan hanya kamar, peralatan juga terbatas. Alhasil tak semua pasien dapat alat bantu napas sesuai penanganan pasien Covid-19 yang layak. Pasien yang semestinya dibantu ventilator akhirnya hanya didukung penyuplai oksigen berkadar tinggi.

“Kami prioritaskan (pasien) yang kemungkinan prognosisnya baik. Pernah beberapa pasien yang (kemudian) meninggal datang dengan kondisi sangat jelek,” kata Umam.

Tak kalah penting, penanganan pasien Covid-19 di RS mutlak butuh tenaga kesehatan (nakes). Meski telah menggandeng kampus-kampus Muhammadiyah, rekrutmen belum optimal. Kondisi itu lantaran banyak nakes baru ragu bekerja di ruang pasien Covid-19.

Untuk itu, RS PKU menempatkan nakes berpengalaman di ruang Covid-19 dan perawat-perawat baru di bangsal biasa. “SDM masalah utamanya karena sangat terbatas. Rekrutmen hanya dapat 10 perawat padahal sebenarnya butuh 30-40 orang,” kata dia.

Dengan kendala itu, sejumlah pasien, terutama yang tak mendapat kamar unit perawatan intensif (ICU), pun wafat. “Yang meninggal di IGD dalam kondisi drop. Dapat alat, tapi kondisi (pasien) jelek, atau alat terpakai pasien lain. Satu minggu pasti ada yang meninggal di IGD,” paparnya.

Situasi tak kalah memprihatinkan terjadi di RS di Kota Yogyakarta. Direktur Utama RS Panti Rapih, Vincentius Tripuro Nugroho, menjelaskan tempat perawatan pasien terkait Covid-19 telah penuh kala itu. “Sekarang full. IGD mengalami retensi 6-10 pasien. 49 bed tidak bisa diisi lagi,” kata dia.

Panti Rapih juga telah meningkatkan kapasitas tempat tidur untuk pasien Covid-19, dari 18, 36, hingga 49 unit. Tingkat keterisian ranjang (BOR) pun terus meningkat dan mencapai angka tertinggi di awal Januari itu. “BOR 95-100 persen. Ini berat untuk tenaga kesehatan karena idealnya 70-80. Retensi pasien membuat IGD crowded. Jadi kami buka tutup,” katanya.

Spesialis penyakit paru, Bagus Nugroho, turut menangani pasien Covid-19 di Panti Rapih. Menurutnya, tak sedikit pasien datang ke IGD dengan sesak napas dan butuh bantuan oksigen.

Namun, karena ruangan penuh dan sarana terbatas, mereka tak memperoleh perawatan secara layak dan intensif. Sebagian bahkan meninggal. “Tidak dapat ICU, dirujuk ke RS lain problemnya sama. Akhirnya tidak tertolong,” ujarnya.

Dokter penyakit paru di RS Akademik Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, Siswanto, menyampaikan IGD RS itu tengah ditutup selama dua hari pada 5 Januari lalu. “Penumpukan di IGD sampai 5-7 pasien selama lebih dari 24 jam, bahkan ada yang dua hari. Tidak bisa dirujuk dan tak bisa dirawat, tapi pasien nambah terus,” tuturnya.

Ia mencontohkan, jika pada November jumlahnya 59 orang, pada Desember melonjak tiga kali lipat jadi 187 orang. “Pasien dengan kondisi berat dan kritis lebih banyak. Ini kami prioritaskan dan dipilih berdasarkan derajad keparahan,” kata Siswanto.

Menurutnya, lantaran pasien menumpuk, ruang IGD dan ICU penuh, sejumlah pasien pun dirawat di bangsal. “Ini mengaduk-aduk perasaan kami. Pasien yang seharusnya dirawat di ICU, tapi karena ruang dan a lat enggak ada, akhirnya semampunya. Beberapa meninggal. Saya katakan beberapa karena lebih dari satu,” kata dia.

Untuk mengetahui kondisi RS menangai pasien, pada Selasa (12/1), sejumlah jurnalis di DIY berkolaborasi menghubungi 27 RS rujukan Covid-19 di DIY.

Hasilnya, nyaris semua RS menyatakan ruang ICU dan kamar isolasi untuk pasien terkait Covid-19 terisi penuh. Dari 27 RS itu, 23 RS menyatakan kapasitasnya sudah mentok, bahkan di sebagian RS pasien harus antre di IGD.

Hanya dua RS yang menyebut masih ada ruang perawatan--itu pun khusus pasien perempuan. Satu RS swasta tak bisa dikontak. Satu-satunya RS yang menyatakan masih tersedia tempat untuk pasien Covid-19 hari itu, dengan enam tempat tidur, khusus melayani orang dengan gangguan jiwa.

Data resmi Pemda DIY menyatakan hingga hari itu tersisa 53 dari 728 ranjang di 27 RS rujukan. Rinciannya, 23 tempat tidur untuk pasien kritis dan 30 untuk non-kritikal. Dua hari kemudian, jumlah ranjang tersedia masih sama, 53, dengan 17 ranjang kritikal dan 36 untuk pasien non-kritikal.

Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setjaningastutie bersikukuh bahwa tempat tidur di RS untuk pasien Covid-19 masih tersedia. Namun, kata dia, kapasitas itu disediakan untuk pihak RS sendiri. “Satu-dua bed untuk internal. Itu lumrah, misal dokter dan perawat sakit, mau dirujuk ke mana? Kan di situ. Susah rujukan karena kondisi ini,” ujar dia.

Selain itu, pasien tak bisa serta merta mengisi ruang di RS. Misalnya, contoh Pembajun, satu ruang dengan lebih dari satu tempat tidur harus diisi oleh pasien berjenis kelamin sama. Jadi, jika satu ranjang telah diisi satu pasien perempuan, pasien baru tak bisa laki-laki. “Ada kondisi pasien tidak bisa dicampur dengan yang lain,” ujarnya.

Menurut dia, setiap RS juga diminta menambah tempat tidur dan menerapkan kohorting atau menempatkan pasien dengan penyakit sejenis di ruang yang sama. Cuman, peningkatan layanan pasien Covid-19 bukan semata soal tempat, melainkan juga soal tambahan tenaga kesehatan.

Sayangnya, perekrutan tenaga kesehatan baru oleh Pemda DIY tak sesuai harapan. Dari kebutuhan 238 personel, hanya 88 orang yang mendaftar dan cuma 63 orang yang lolos syarat. Itupun cuma 26 orang yang akhirnya berangkat bertugas. “Sudah siap kerja besok, tiba-tiba katanya orang tua tidak kasih izin,” ungkap Berty.

Pembajun mengakui kondisi membeludaknya pasien saat ini berpangkal dari meluasnya penularan Covid-19. Dengan situasi itu, peningkatan layanan kesehatan sebesar apapun tak akan dapat mengatasi lonjakan pasien.

“Hulunya, atapnya, bocor dan orang kesehatan itu bagian ngepel. Sebesar apapun pelnya, kalau atapnya bocor, tetep grojog, tak akan bisa,” kata dia.

Pembajun meminjam istilah ‘atap bocor’ itu dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. “Kita sibuk ngepel lantai karena airnya banyak setiap hujan, tapi kita lupa untuk menambal atapnya. Jadi apapun yang dilakukan selama atapnya belum ditambal, setiap kali hujan, ya kita pel terus,” kata Budi.

Budi bicara itu saat rapat dengar pendapat dengan DPR, awal Desember silam. ‘Atap bocor’ menggambarkan kesalahan penanganan Covid-19 karena tak mengatasi problem di hulu, terutama soal mobilitas masyarakat. Akibatnya, tenaga kesehatan harus ‘ngepel’ alias menangani para pasien yang makin banyak.

Di DIY, selain penularan yang makin luas, penanganan pandemi di sisi hulu turut dipengaruhi statusnya sebagai daerah tujuan wisata. Sebab, saban usai libur panjang, seperti libur Hari Kemerdekaan di Agustus, Maulid Nabi di Oktober, dan Tahun Baru, kasus positif Covid-19 melejit.

Sekadar mengingat, pada medio Maret hingga Juni, DIY mencatatkan 313 kasus Covid-19, lalu Juli 361 kasus dan Agustus 751 kasus. Namun setelah momen libur di bulan itu, ada 1.192 kasus pada September.

Grafik kasus sempat mendatar pada Oktober dengan 1.218 kasus, tapi berlipat di November dengan 2.128 kasus, dan meroket di Desember dengan 6.192 kasus. Jumlah kasus akhir tahun ini bahkan melampaui jumlah kasus Maret-November. Pada 1-14 Januari ini, ada tambahan 3.937 kasus.

Alhasil, hingga 14 Januari, total ada 16.092 kasus positif di DIY, terdiri atas 10.547 orang sembuh dan 5.196 kasus aktif. Adapun kematian pasien positif mencapai 349 orang. Jika dirinci, delapan kematian selama Maret - Juni, Juli 12 orang, Agustus 19 orang, dan September 28 orang.

Pada Oktober, 26 orang meninggal, November 52 orang, dan Desember melonjak jadi 115 orang. Pada 1-14 Januari ini, sudah ada 89 orang meninggal. Namun, seperti kondisi di sejumlah RS, kematian pasien terkait Covid-19 lebih besar dari jumlah meninggalnya pasien positif itu.

Apalagi sejak Maret silam, data Posko Dukungan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY menunjukkan terdapat 903 orang dimakamkan dengan standar Covid-19—nyaris tiga kali lipat dari kematian pasien positif Covid-19 di data resmi Pemda DIY.

Lebih dari separuhnya, 532 orang, meninggal pada kurun Oktober hingga 9 Januari. Jika dirinci, jumlahnya terus naik: dari 62 orang pada Oktober, 95 orang di November, dan melejit 264 orang di Desember. Di awal tahun, 1- 9 Januari, ada 101 orang.

Seperti telah diakui sejumlah RS, sebagian kematian warga DIY turut disumbang pasien terkait Covid-19 yang butuh rujukan RS. Sambatan Jogja atau Sonjo, komunitas di DIY yang dibentuk guna merespons pandemi, misalnya telah mendata 89 pasien terkait Covid-19 butuh rujukan RS selama 14 Desember – 11 Januari.

“Dari jumlah itu, 54 orang telah dirujuk dan 25 pasien masih menunggu rujukan, dan 10 pasien yang selama menunggu rujukan telah wafat. Ini artinya RS penuh. Kalau RS enggak penuh, antrean di saya enggak ada,” kata penggagas Sonjo, Rimawan Pradiptyo, yang menghimpun data itu cukup melalui aplikasi Whatsapp.

Rimawan membentuk grup WA yang mengumpulkan para petinggi RS rujukan Covid-19 di DIY. Setiap RS dapat menginput data pasien yang butuh rujukan ke RS lain. Sementara pengelola RS lain dapat menginformasikan jika mampu menampung pasien tersebut. “Sistemnya dibuat sangat simpel, seperti pasar,” katanya.

Menurut Rimawan, sistem pendataan pasien Covid-19 bikinan pemerintah belum tentu selalu diperbarui. “Memang ada kompleksitas. Merujuk pasien mudah, tapi menerima rujukan itu tidak mudah karena harus menyediakan semuanya. Pergantian antar-pasien tidak seperti di hotel,” kata dia.

Dengan situasi itu, pendataan Sonjo menjadi wujud upaya membantu RS menangani pasien. Namun Rimawan mengingatkan sistem ini membantu lalu lintas pasien antar-RS. “Jadi semua ini pasien di RS yang perlu perawatan di RS yang lebih pas, bukan dari rumah ke RS,” kata dosen ekonomi UGM itu.

Toh, melihat banyaknya warga dengan gejala Covid-19 yang butuh perawatan medis tapi belum bisa masuk RS, Rimawan memunculkan inisiatif baru. Ia dan sejumlah koleganya menyiapkan ‘RS darurat’ berkapasitas 100 tempat tidur.

Lokasinya menggunakan bekas shelter untuk pasien Covid-19 di Bantul saat masa awal pandemi. Tenaga kesehatan akan dibantu sejumlah kampus dan personel Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sarana dan pendanaan awal akan turut didukung Dinas Kesehatan Bantul.

Shelter Tangguh--demikian namanya untuk menghindari ribetnya administrasi pendirian RS-- rencananya dibuka pekan ini. “Kami juga akan fund raising. Harapannya shelter ini menampung pasien yang tak bisa dirawat RS,” kata Rimawan. 

2403