Jakarta, Gatra.com — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meminta pemerintah menempuh langkah nyata dengan menyediakan mekanisme pengungkapan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat masa lalu dan mengakhiri impunitas bagi pelaku.
Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, dalam acara penyampaian Laporan Kerta Tahun 2020 bertajuk "Separuh Napas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi : LPSK Menolak Menyerah" di Jakarta, Kamis (14/1), mengatakan, LPSK sangat menyoroti perihal ikhtiar pemerintah soal kasus HAM berat masa lalu.
"Meskikpun sesungguhnya upaya pemerintah dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang Berat di masa lalu sudah dimulai," ujar Nasution.
Beragam upaya yang dimaksud, seperti permohonan maaf oleh Presiden Abdurahman Wahid di tahun 2000 dan Wali Kota Palu Rusdi Mastura pada 2012. Selain itu pemerintah DKI Jakarta juga pernah membuat memorialisasi kerusuhan Mei 1998 di TPU Pondok rangon sebagai cara untuk mempertahankan ingatan masyarakat agar tragedi yang sama tidak terulang.
“Namun yang tidak kalah penting untuk dicatat, melalui LPSK, negara telah memberikan layanan perlindungan dalam bentuk bantuan medis, psikologis, dan psikososial,” tambah Nasution.
Menurutnya, hal menarik dari hasil surveil LPSK terhadap 353 korban pelanggaran HAM yang berat yang menjadi terlindung LPSK di Jawa Tengah. Sebanyak 50% responden hanya mengharapkan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial dari pemerintah sebagai penyelesaian dari peristiwa pelanggaran HAM yang mereka alami.
Sedangkan respondem yang meminta pengungkapan kebenaran sebanyak 35%, permintaan maaf 10%, dan adanya hukuman pidana untuk pelaku sejumlah 5%.
"Para responden juga banyak memilih rekonsiliasi nonyudisial sebagai cara penyelesaian atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang menimpa mereka di masa lampau, dan hampir seluruh responden meminta agar negara membayarkan kompensasi kepada mereka seperti yang juga diterima oleh korban terorisme,” ujarnya.
Manager menambahkan, sepertinya pemerintah perlu memikirkan untuk melakukan affirmative action kepada korban pelanggaran HAM yang berat untuk mendapatkan kebutuhan dasar, misalnya berupa jaminan kesehatan kelas satu seumur hidup.
"Atau pemerintah mengambil kebijakan untuk membebaskan Pajak Bumi Bangunan mereka," ujarnya.