Home Info Sawit RPP Dipaksakan, Duit Rp1.369,7 Triliun Melayang

RPP Dipaksakan, Duit Rp1.369,7 Triliun Melayang

Jakarta, Gatra.com - Lelaki 48 tahun ini kembali menengok hitung-hitungan yang sudah dia bikin bersama tim pakar Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), lebih dari sebulan lalu.

Hitung-hitungan tentang kerugian petani dan Negara kalau kelak otoritas kehutanan tetap ngotot memberangus sekitar 2,73 juta hektar kebun kelapa sawit petani yang katanya berada dalam kawasan hutan.

"Setelah kami hitung, total kerugian petani mencapai Rp546 triliun. Angka itu bersumber dari kerugian fisik kebun sekitar Rp300,3 triliun, dampak sosial Rp122,85 triliun dan pembelian lahan baru sekitar Rp122,85 triliun. Sekitar 8,34 juta orang pun bakal menganggur," rinci Ketua Umum DPP Apkasindo, DR (c) Gulat Medali Emas Manurung, saat berbincang dengan Gatra.com, Sabtu (9/1).

Tak hanya petani kata Gulat yang gulung tikar, pemerintah juga akan merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp525 triliun untuk menghutankan kembali lahan itu selama 20 tahun.

"Pemerintah juga akan kehilangan pendapatan dari bea keluar dan pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO). Pemerintah juga musti membeli solar tambahan lantaran CPO berkurang. Kalau ditotal kehilangan dan beli solar itu, Rp298,7 triliun setahun," rinci ayah dua anak ini.

Kalau ditotal semua duit petani dan pemerintah itu kata auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, mencapai Rp1.369,7 triliun.

"Khusus pendapatan pemerintah tadi, hitungannya dalam setahun lho. Kalau misalnya sawit yang ditebang itu berumur 10 tahun, berarti produktifitas sawit masih ada 15 tahun. Kalikan saja dengan Rp298,7 triliun tadi," ujar Gulat.  

Kalau nasib petani akan seperti hitung-hitungan tadi kata Gulat, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kehutanan yang sedang digodok itu, tidak sejalan dengan cita-cita Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020 seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.

Yang membikin petani merasa semakin tersakiti kata Gulat, ada pula cerita yang beredar kalau asing sudah menggelontorkan duit kepada organisasi tertentu untuk ikut mendisain RPP di belakang layar.

"Ya samalah ceritanya dengan pembahasan aturan ISPO yang lalu, itu bukan rahasia lagi. Presiden harus tahu ini dan bertindak cepat, rakyat sedang susah akibat dampak Covid, jangan ditambah lagi penderitaan rakyat ini," pinta Gulat.

Sekarang kata Gulat, Presiden dan Wapres menjadi harapan petani. "Mengadu ke orang tua kami di Dirjendbun, buang badan. Berharap kepada korporasi, mereka menyelamatkan diri sendiri nya. Hanya 2,28% dari total sawit dalam kawasan hutan itu milik korporasi, sisanya milik petani," keluh Gulat. 

Harusnya kata Gulat, persoalan semacam ini tak perlu sampai ke Presiden dan Wapres, "Sebab yang kami tahu semua pembantu Presiden dan Wapres itu harus menjalankan visi dan misi Presiden dan Wapres, bukan visi dan misi Kementerian Kehutanan, Kemenko Perekonomian, atau Kementerian Pertanian," katanya.

Kalau para pembantu Presiden dan Wapres itu tidak memahami apa visi dan misi komandannya kata Gulat, sebaiknya mereka mundur saja, jangan malah merusak citra Presiden dan Wapres dengan memaksakan visi misi sendiri dan antek-anteknya.

"Selama ini kami petani sawit sudah cukup sabar, menahan diri dengan segala regulasi yang merugikan kami, tapi kali ini, kami tak akan diam, kami akan mendatangi mereka yang sudah mengabaikan suara petani. Jangan salahkan kami sekalipun akan terpapar Corona lantaran puluhan ribu orang terpaksa berkumpul di Jakarta," tegas Gulat.

Anggota Divisi Riset dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan (RJR), Petrus Gunarso, PhD, memiliki pandangan yang sama dengan Gulat.

Lelaki 63 tahun ini menyebut bahwa tujuan Presiden Jokowi memerintahkan supaya UUCK disusun adalah untuk memastikan orang bisa berinvestasi dengan tenang, mudah, murah dan tenaga kerja pun terserap.

"Kalau RPP yang disusun menimbulkan kegaduhan, kebun yang tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sangat luas, sejatinya juga investasi. Penyelesaian untuk "investasi" ini perlu dicari" kata ayah tiga anak ini saat berbincang dengan Gatra.com, Sabtu (9/1) sore.

Lebih jauh mantan Ketua Forum Kolaborasi Rimbawan Indonesia (FKRI) ini menyebut, kalau tujuan UUCK itu untuk menciptakan iklim investasi yang lebih positif, melihat besarannya, kenapa bukan investasi rakyat ini saja yang segera diselesaikan secara elegan? "Memformalkan dan melegalkan "keterlanjuran", ini sebenarnya penyelamatan investasi juga," kata alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

RPP seperti yang saat ini ada kata Petrus, nampaknya belum menjadi solusi bagi para petani/pekebun yang terlanjur berinvestasi. Ini berarti, RPP itu belum sejalan dan belum seirama dengan cita-cita UUCK itu. 

Lelaki ini kemudian mengulas soal kawasan hutan yang menjadi sumber masalah itu. Bahwa tata batas belum jelas, tata ruang belum disepakati, batas tidak diketahui dan dipahami, proses sering kurang prosedural, maka terjadilah berbagai keterlanjuran.

"Kalau ratusan orang bahkan ribuan orang masuk ke kawasan hutan, mustinya dari awal sudah tahu dan harus dicegah, tapi ini, kenapa setelah kebun petani menghasilkan dan bahkan ada yang sudah tua, baru mau dibenahi dengan sangsi dan denda?"ujarnya.

Tak hanya itu yang disoroti Petrus, kehutanan juga keliru jika menunjuk kawasan hutan untuk rencana dilepaskan. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa penunjukan kawasan hutan adalah untuk dijadikan hutan tetap, bukan ditunjuk untuk dapat dikonversi.

"Menurut hemat saya, ada kekuasaan yang berlebihan. Kehutanan masih beranggapan bahwa Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 itu masih berlaku. Padahal itu sudah lama dicabut dan diganti dengan Undang-Undang sektor, UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan," katanya.

Hal terpenting dari perubahan itu kata Petrus adalah perlunya penetapan kawasan hutan yang mengacu pada tata ruang. Artinya perlu ada kesepakatan mengenai penetapan kawasan hutan dan tata ruang.

"Rakyat mengelola secara ilegal, itu tidak sepenuhnya tepat. Kalau ilegal dihukum dong. Jadi, sepatutnya sebutan itu informal. Kalau rakyat mengelola secara informal, maka langkah pemerintah adalah bagaimana hal itu menjadi formal," pinta Petrus. 

Petrus menegaskan bahwa RJR mempunyai 5 motto; Voicing the voiceless (menyuarakan yang tidak mampu bersuara), Residual Approach (pendekatan sisa; berikan ke rakyat untuk dikelola, sisanya dikuasai negara), Affirmative Action (lakukan keberpihakan dalam mewujudkan keadilan. Berpihak pada yang lemah!), Legalizing the illegalityFormalizing the informality: khususnya dalam penguasaan lahan bagi rakyat, yang sifatnya tidak formal dibantu menjadi formal, dan Land Amnesty (sebagai penyeimbang terhadap Tax Amnesty. Tax amnesty hanya berlaku untuk orang superkaya – sedangkan land amnesty harus diberikan kepada mereka yang super miskin yang sampai sekarang jumlahnya masih sangat banyak.

"Sederhanya di motto tadi, kehutanan misalnya mau membikin kawasan hutan, tata batas dulu punya rakyat, sisanya buat negara, jangan terbalik. Begitu juga soal pengelolaan lahan, jangan orang dari Papua, Kalimantan diminta mengajukan proposal dan diminta datang ke Jakarta, tapi kehutananlah yang mendatangi, mendampingi dan membantu mereka yang membutuhkan," katanya.

Terkait adanya issue lahan untuk rakyat maksimal dua hektar atau lima hektar kata Petrus, itu muncul lantaran berbagai publikasi dari berbagai pihak dan banyak mengacu pada program transmigrasi.

"Publikasi semacam ini yang dipromosikan sampai ke tingkat internasional. Sebenarnya batasan luasan ini perlu segera ditetapkan secara adil sesuai dengan lokalitas masyarakatnya. Luasan maksimum perorangan di Jawa mungkin perlu dibedakan dengan di luar Jawa. Hal ini sebaiknya diatur dalam penataan agraria. Usulan semacam ini mengemuka dalam diskusi dengan ATR/BPN beberapa waktu lalu," ujarnya.


Abdul Aziz

24989