Washington, Gatra.com - Produsen pesawat komersial Amerika Serikat, Boeing akhirnya bersedia menerima skema deferred prosecution agreement (DPA) dari Departemen kehakiman untuk menyelesaikan masalah kecelakaan pesawat Boeing 737 MAX. Dalam DPA tersebut Boeing membayar USD2,5 miliar namun tidak akan diminta mengaku bersalah. Pembayaran Boeing itu meliputi denda USD243 juta, kompensasai kepada maskapai pelanggan Boeing sebesar USD 1,77 miliar dan kompensasi kepada keluarga korban USD500 juta.
Sebelumnya Departemen Kehakiman AS menuntut perusahaan bertanggungjawab atas tuduhan penipuan dan konspirasi terkait dua kecelakaan fatal pesawat 737 MAX.
Dua pesawat Boeing 737 MAX, Lion Air dengan nomer penerbangan 610 dan Ethiopian Airlines nomer penerbangan 302 jatuh dalam rentang waktu lima bulan antara 2018 - 2019. Total korban tewas mencapai 346 orang.
"Kecelakaan tragis Lion Air dan Ethiopian Airlines mengungkap perilaku curang dan menipu yang dilakukan karyawan perusahaan penerbangan komersial terkemuka dunia," kata Asisten Jaksa Agung David P.Burns dari Divisi Kriminal Departemen Kehakiman AS dalam rilis yang diterbitkan Kamis (7/1) waktu setempat. "Orang-orang Boeing lebih memilih melindungi laba perusahaan dengan menyembunyikan informasi dari FAA terkait pengoperasikan pesawat 737 MAX. Mereka juga terlibat dalam upaya menutup-nutupi penipuan mereka. Penyelesaian ini menuntu tanggung jawab Boeing terhadap perilaku buruk karyawannya, mencarikan jalan keluar bagi maskapai pelanggannya dan memberikan kompensasi kepada keluarga dan penerima manfaat korban kecelakaan."
Laman the Guardian melaporkan, Boeing mengakui bahwa dua technical pilot (yang bertugas sebagai penghubung utama antara produsen pesawat dan pemasok lainnya) menipu regulator tentang keamanan perangkat lunak pencegahan stall (kondisi pesawaat kehilangan daya angkat) MCAS yang dipakai Boeing 737 MAX. Perangkat MCAS ini yang dianggap bertanggungjawab dalam kedua kecelakaan fatal itu. Dalam kedua kasus tersebut, pesawat jatuh tak lama setelah lepas landas ketika pilot tidak bisa mengendalikan pesawat setelah menukik.
Pengacara korban dalam kecelakaan Ethiopian Airlines menolak penyelesaian tersebut dan mengatakan mereka akan melanjutkan litigasi mereka terhadap Boeing.
"Tuduhan dalam deferred prosecution agreement (DPA/perjanjian penuntutan yang ditangguhkan) hanyalah puncak gunung es dari kesalahan Boeing - sebuah perusahaan yang membayar miliaran dolar untuk menghindari pertanggungjawaban pidana sambil menghalangi dan melawan keluarga di pengadilan. Perjanjian ini, termasuk 'dana penerima korban kecelakaan', tidak ada hubungannya dengan proses pengadilan perdata terhadap Boeing, yang kami rencanakan untuk dituntut sepenuhnya untuk memastikan keluarga menerima keadilan yang layak mereka terima, "Kantor Hukum Clifford mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Mereka mengatakan 737 MAX seharusnya tidak beroperasi "sampai semua kekurangan pesawat diatasi dan telah menjalani tinjauan keselamatan yang transparan dan independen - yang hingga saat ini masih belum dilakukan."
Deferred prosecution agreement (DPA) adalah tawar-menawar pembelaan perusahaan yang biasanya memungkinkan perusahaan menghindari tuntutan pidana yang dapat mengganggu kegiatan seperti akses ke kontrak publik, dengan imbalan denda dan pengakuan kesalahan, serta reformasi internal.
Kecelakaan Boeing 737 MAX itu memicu badai investigasi yang merusakan dominasi Amerika Serikat dalam industri penerbangan global, dan membebani Boeing dengan pengeluaran hingga $20 miliar. Belum lagi kerugian yang dialami maskapai karena pesawat Boeing 737 MAX yang mereka operasikan harus di grounded.