Palembang, Gatra.com - Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang, memberlakuan pembatasan kerja jurnalis di ruang persidangan. Peraturan Mahkamah Agung (PMA) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan, pemicu pembatasan kerja jurnalis.
Pembatasan meliput tersebut diterapkan Ketua Pengadilan Negeri Klas 1A Palembang, Bombongan Silaban SH LLM yang pada hari Selasa 5 Januari 2021 memimpin jalannya persidangan kasus pemilikan narkotika. Saat itu, ia hanya memberikan kesempatan para jurnalis untuk mengambil foto dan video selama 10 menit sebelum sidang dimulai.
Atas pembatasan tersebut, Ketua AJI Kota Palembang, Prawira Maulana mengatakan bahwa sejak awal PMA ini dikeluarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan tegas menolak dan mendesak agar segera dicabut. Menurutnya, peraturan tersebut akan menghambat dan membatasi jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik di ruang sidang.
“Aturan ini juga jelas-jelas menyalahi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers, yang di dalamnya menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi,” katanya, dalam siaran persnya, Rabu (6/1).
Wira (bisa disapa) menguraikan, dalil pembatasan ini sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (6) PMA Nomor 5 Tahun 2020 ini berbunyi, ‘Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan’.
“Di mana pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (6) tersebut dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan,” terangnya.
Lanjuntnya, karena kerja-kerja jurnalistik mulai dibatasi alhasil peran pers bagi kepentingan masyarakat mulai terganggu. Selain itu hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dijamin oleh undang-undang juga terabaikan.
“Karena itu AJI Palembang mendesak Mahkamah Agung (MA) segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim yang nyata-nyata tidak sejalan dengan UU Pers,” ujarnya.
Selanjutnya sambung Wira, MA juga untuk tidak membuat ketentuan yang bisa membatasi jurnalis bekerja karena itu sama saja dengan menghambat kebebasan pers.
“Kami bisa mengerti bahwa Mahkamah Agung ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. Namun, niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi,” katanya.
Muhammad Muslim, Ketua Divisi Hukum dan Advokasi AJI Palembang juga menambahkan, akan menggalang forum bersama komunitas pers di Sumsel, untuk menolak penerapan dan mendesak dicabutnya ketentutan pada PMA tersebut.
“Kami membuka ruang pertemuan bersama antara komunitas pers dan Pengadilan Negeri Klas 1A Palembang, serta otoritas pengadilan yang ada di Sumatera Selatan, untuk membahas perkara ini dan agar disampaikan ke Mahakamah Agung,” tutupnya.
Penolakan dan desakan untuk pencabutan PMA No.5 Tahun 2020 juga dilakukan Komite Keselamatan Jurnalis yang meliputi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).