Sleman, Gatra.com - Alat deteksi GeNose C19 memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan alat pendeteksi Covid-19 produksi luar negeri. Bahkan ada keunikan dalam proses penggunaannya.
Ketua tim pengembang GeNose, Kuwat Triyana mengatakan memang ada alat yang mirip GeNose C19 yang diproduksi di beberapa negara seperti Israel dan Singapura. Namun dari sisi konsep dan teknologi yang dipakai berbeda.
"Konsepnya beda. Mulai dari ambil sampelnya. Di tempat lain, ambil sampelnya sama seperti GeNose C19, memakai embusan nafas. Tapi caranya di sana, langsung. Sedangkan GeNose memakai plastik," paparnya pabrik GeNose di Science Technopark (STP) UGM, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (5/12).
Kuwat mengatakan, pengambilan sampel embusan nafas secara langsung akan ada risiko terjadinya penularan Covid-19. Sementara, GeNose C19 yang memakai plastik dan terpisah dengan alatnya maka risiko tersebut bisa terhindarkan.
"Plastik yang dipakai kan tidak ada hubungannya ke alat. Jadi bisa dihembus di rumah, kemudian dibawa ke sini (lokasi alat GeNose). Kalau pengambilan langsung, satu alat dipakai berkali-kali oleh banyak orang, itu akan menularkan (kalau ada yang positif)," katanya.
Kuwat mengatakan, alat mirip GeNose C19 yang ada di beberapa negara tersebut saat ini masih belum dipasarkan. Sehingga ia tidak tahu terkait perbandingan harga dengan GeNose yang dijual Rp62 juta.
Kuwat mengatakan, GeNose C19 saat ini masih belum dipatenkan di pasar luar negeri. "Dalam negeri sudah kami patenkan, sudah terlindungi. Kalau luar negeri, kami lihat pasarnya dulu," ucapnya.
GeNose C19 memiliki tingkat akurasi sebesar 95 persen. Menurut Kuwat, dalam sekali pengujian membutuhkan waktu maksimum tiga menit.
Ketika diketahui positif maka dilihat terlebih dahulu probabilitasnya. Kalau diketahui di bawah 0,6 maka orang tersebut diminta untuk menunggu 30 menit lagi untuk melakukan tes kembali. "Saat menunggu itu tidak berdiam diri. Tapi kumur-kumur, gosok gigi, dan lainnya," katanya. Probabilitas 0,6 tersebut merupakan positif rendah atau pertengahan. Menurutnya bisa jadi karena data yang terekam dipengaruhi dari makanan yang dikonsumsi.
"Data kami, makanan yang mempengaruhi atau menyebabkan orang itu terdeteksi positif palsu, tapi karena dia makan makanan yang signifikan seperti jengkol, pete, durian. Makanan semacam itu menghasilkan senyawa yang masuk ke rongga mulut. Tapi tidak hinggap seperti halnya senyawa yang dihasilkan Covid-19," katanya.
Menurutnya, selama ini mereka yang terdeteksi probabilitas rendah setelah dilakukan tes kembali maka akan negatif Covid-19. "30 menit tes lagi, hampir semua negatif," katanya.
Kuwat mengatakan, ketika memang benar-benar diketahui positif Covid-19 maka direkomendasikan untuk melakukan tes PCR atau swab. Namun dilakukan dua hari setelah dinyatakan positif pada alat GeNose C19.
"Ini lah uniknya bisa mendeteksi lebih awal. Jadi hari kedua (terpapar) sudah terdeteksi. Kalau sekarang positif terus hari ini juga di-PCR kemungkinan juga masih negatif. Karena PCR hari keempat baru akurat," ucapnya.