Banyumas, Gatra.com - Naiknya harga kedelai impor membuat perajin tempe di Banyumas, Jawa Tengah harus memutar otak agar produksinya tetap berjalan.
Itulah yang dirasakan Slamet Suwitno, perajin tempe asal Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Banyumas menuturkan harga kedelai impor perlahan naik sejak 10 hari yang lalu.
"Padahal sebelumnya hanya di kisaran Rp 6.800 per kilogram. Sekarang Rp 9.000 per kilogram," ujarnya, ketika ditemui Senin (4/1).
Meski harga kedelai naik, Slamet memilih tidak menaikkan harga tempe.Namun ia hanya memperkecil ukuran tempe dengan mengurangi 5-7 butir kedelai setiap takaran atau cetakan tempe.
Industri tempe rumahan milik Slamet ini membutuhkan 1 kuintal kedelai setiap kali produksi selama empat hari. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah dapat menstabilkan harga kedelai.
Hal senada juga dirasakan perajin tempe lainnya, Saenah yang memilih untuk mengurangi produksi. Biasanya, industri rumahan tempatnya bekerja mampu menghasilkan 45 kuintal tempe. Namun, semenjak harga kedelai naik, dia mengurangi produksi hanya 25 kuintal saja.
"Sekarang kedelai Rp 9.100. Produksinya dikurangi jadi 25 kuintal," ucapnya.
Sebagai informasi Desa Pliken, Kecamatan Kembaran merupakan sentra produksi tempe di Kabupaten Banyumas. Di desa ini terdapat lebih dari 1.000 perajin tempe dengan kebutuhan kedelai mencapai 15 ton per hari.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Syailendra mengatakan, kenaikan harga kedelai ini bukan karena stok yang menipis. Namun yang membuat harga kedelai mahal adalah faktor global di mana harga kedelai di tingkat global juga mengalami kenaikan, sehingga berdampak pada harga kedelai impor ke Indonesia.