Ungaran, Gatra.com - Pertamuan tak disengaja itu akhirnya jadi semacam reunian dosen-mahasiswa. Dibilang begitu lantaran orang yang ngariung di teras asrama Kebun Pendidikan dan Penelitian (KP2) Stiper Edu Agro Tourism (SEAT), Bawen, Semarang, Jawa Tengah dua pekan lalu itu adalah dosen dan tiga mahasiswa di jamannya dan kini mereka sama-sama dosen pula di Stiper Yogya itu.
Adalah Sundoro Sastro Wiratno yang menjadi dosen dijamannya tadi. Sementara yang jadi mahasiswa adalah Idum Satia Santi, Hartono dan Sri Gunawan yang kini menjadi Direktur Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY). AKPY sendiri adalah anak Sekolah Tinggi Ilmu Perkebunan (Stiper) Yogya yang khusus mendidik mahasiswa diploma satu.
Lantaran kesan yang muncul adalah reunian, kisah-kisah lalu tentang mereka pun bermunculan, termasuklah soal cerita perjalanan panjang Stiper hingga kemudian punya SEAT.
Baca juga: Sepenggal Cerita Dari Bawen
"Dulu sebelum Stiper, namanya Perguruan Tinggi Staf Perkebunan (PTSP), terus berubah lagi menjadi Perguruan Tinggi Perkebunan (PTP)," cerita Sundoro kepada Gatra.com, yang juga nimbrung dalam reunian itu.
Kampus PTP ini kata lelaki 73 tahun ini menumpang di SPPMA Mujamuju di kawasan Umbulharjo, Yogyakarta.
Munculnya PTSP ini kata alumni Stiper tahun 1967 itu bermula dari nasionalisasi perkebunan dari Belanda sekitar tahun 1957.
"Saat dinasionalisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), kurang. Itulah makanya muncul gagasan PTSP itu, yang menggagasi adalah orang-orang perkebunan juga. Di antaranya Prof Gitono dan yang lain," Sundoro mengurai.
Lebih jauh Sundoro menyebut, PTP sempat juga berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Pertanian, lalu Institut Pertanian meski kompetensinya perkebunan.
Lembaga ini satu yayasan dengan Yayasan Dana Perkebunan, sebelum ada Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) ada. "Stiper pernah diminta LPP, tapi enggak mau," katanya.
Setelah perubahan-perubahan tadi, barulah muncul nama yang kemudian sekarang dikenal dengan Stiper.
Sampai tahun 2000 kata Sundoro, tak kurang dari 15 provinsi di Indonesia, dinas perkebunannya ada orang Stiper.
"Sekarang kan sudah suka-suka, sudah tak sesuai kompetensi. Yang SH atau SE pun boleh jadi kadis perkebunan," lelaki ini tertawa.
Waktu pemerintahan menjadi orientasi lulusan kata Sundoro, ada pola-pola yang dibikin di bangku kuliah. Ada istilah Praktek Kerja Lapangan (PKL) 1. Di level ini, mahasiswa sudah musti menguasai teknik bercocok tanam.
Lalu ada lagi PKL2. Di level ini mahasiswa sudah harus bisa menjadi penyuluh. "Setelah PKL, ada lagi yang namanya Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Mahasiswa diterjunkan ke masyarakat, cerita Sundoro.
Seiring waktu kata Sundoro, 'pasar' Stiper sudah beralih ke perusahaan swasta. Waktu itu Prof Soemantri sempat bilang bahwa sawit akan booming, siapin SDMnya. Oleh peralihan itu, muncullah terobosan baru soal gelar lulusan.
"Tahun 2005 ada Sarjana Perkebunan Kelapa Sawit (SPKS) meski oleh Dikti, itu enggak boleh. Meski begitu, peminat jurusan ini banyak. Angkatan pertama 1 kelas, kedua 3 kelas, sekarang sudah 9 kelas. Terus untuk pabrik ada Sarjana Teknik Industri Kelapa Sawit," dosen budidaya ini mengurai.
Semua lulusan Stiper kata Sundoro diserap semua perkebunan. "Alhamdulillah, alumni Stiper sangat peduli. Itulah makanya Stiper ini eksis, termasuk SEAT ini. Di daerah Pengda Stiper ada lho," katanya.
Terkait SEAT kata Sundoro. Pembelian lahan yang kini seluas sekitar 14 hektar itu, sudah dimulai sejak tahun 1974. "Pembeliannya berangsung sampai luasannya seperti sekarang," katanya.
Abdul Aziz