Banten, Gatra.com - Kelapa sawit masih akan terus menghadirkan trend positif di tahun depan. Ini jika merujuk pada hasil Forum Group Discussion (FGD) bertajuk 'Outlook Industri Kelapa Sawit Indonesia' yang ditaja oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di kawasan Serpong, Banten, bulan lalu.
Dibilang begitu lantaran prognosa Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut bahwa di 2021, jika kondisi cuaca normal dan pandemi berangsur mereda, produksi Crude Palm Oil (CPO) akan berada di kisaran angka 47-49 juta ton.
Total ekspor juga berpeluang naik ke angka 36,4 juta metrik ton dari tahun 2020 yang berada di angka 31,7 juta metrik ton.
Ada enam komoditi yang dirilis oleh GAPKI pada total ekspor tadi; biodiesel dari yang tadinya 79.402 metrik ton menjadi 91.230 metrik ton.
CPO dari 5,7 juta metrik ton naik menjadi 6,5 metrik ton. Refined dari 18 juta metrik ton menjadi sekitar 20,7 metrik ton.
CPO dan turunannya, dari 23,8 juta metrik ton naik menjadi 27,3 juta metrik ton. Lauric, dari 1,5 juta metrik ton menjadi 1,8 juta metrik ton. Lain-lain, dari 6,3 juta metrik ton menjadi sekitar 7,2 juta metrik ton.
Di dalam negeri, konsumsi domestik juga menunjukkan peningkatan. F&B dan Oleokimia misalnya, dari 5,5 juta metrik ton, naik menjadi 6,3 juta metrik ton.
Biodoesel juga begitu, dari 8,5 juta kilo liter menjadi 9,4 juta kilo liter. Peningkatan ini terjadi lantaran pemerintah terus menggenjot B30.
Hanya saja, B30 berpotensi membikin keuangan BPDPKS devisit. "Ini terjadi lantaran perbedaan Harga Indeks Pasar (HIP) FAME dan solar begitu jomplang. Dalam hitungan kita, duit yang dibutuhkan untuk pembuatan 9,2 juta kilo liter biodiesel itu sekitar Rp54,1 triliun. Angka ini menjadi besar lantaran BPDPKS harus membayar selisih HIP yang tinggi," kata DR. Fadhil Hasan kepada Gatra.com,, Senin (28/12).
Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini menyebut, sistim progresif tadi akan berdampak positif pada pundi-pundi BPDPKS. Duit tambahan bakal mengalir sekitar Rp28,1 triliun dari total Rp45,52 triliun.
Tapi untuk petani sawit, sistim progresif pungutan ekspor itu akan berdampak buruk. Sebab harga TBS petani bisa jadi hanya akan berada di kisaran Rp1400 perkilogram. Harga ini jauh di bawah harga idela Rp1700 perkilogram.
Lantaran itulah Fadhil sangat berharap selisih HIP tadi bisa ditekan supaya BPDPKS tidak terlalu diberatkan, biar duit yang ada juga bisa dipakai BPDPKS untuk pembiayaan program lain.
Abdul Aziz