Jakarta, Gatra.com - Di satu sisi, tahun ini menjadi tahun yang membikin petani kelapa sawit sumringah. Mulai dari semakin mudahnya syarat Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) hingga naiknya nilai bantuan PSR menjadi Rp30 juta perhektar, menjadi poin pentingnya.
Tapi di tahun ini pula, petani kelapa sawit menjadi pusing dan bahkan sampai kelenger. Adalah Peraturan Presiden (Perpres) 44 Tentang Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan klaim kawasan hutan yang semakin massif menjadi musababnya.
Di Perpres ISPO, petani kelapa sawit sudah wajib mengantongi sertifikat sejak 2025 mendatang. Sementara, petani kelapa sawit yang terjebak dalam klaim kawasan hutan, masih sangat bejibun, luas lahannya mencapai hampir 3 juta hektar.
Padahal, syarat utama untuk bisa mengantongi sertifikat sawit berkelanjutan itu, lahan petani kelapa sawit tak boleh berada dalam kawasan hutan. “Yang membikin runyam itu sebenarnya, petani diklaim di dalam kawasan hutan, padahal secara eksisting, tak ada hutan di lokasi yang disebut, yang ada malah pemukiman desa, kecamatan, bahkan kota dengan segala fasilitas umumnya,” ujar Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), DR (c) Gulat Medali Emas Manurung, dalam bincang akhir tahun dengan Gatra.com, Kamis (31/12).
Baca juga: Gerakan Tak Henti Sepanjang Pandemi
Sudahlah dipusingkan dengan kondisi itu, di pertengahan tahun, pelaku usaha sawit dipusingkan juga dengan jatuhnya harga minyak bumi yang berdampak pada kelanjutan program B30 dan program lainnya yang dijalankan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS).
“Semua pemangku kebijakan, pelaku usaha dan petani memang sama-sama berfikir mencari solusi untuk itu. Berdasarkan perhitungan yang matang yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Perekonomian selaku Komite Pengarah BPDPKS, kebijakan yang diambil berbuah manis. Kita berhasil menjaga stabilitas harga TBS petani di kisaran Rp1700 - Rp2100 perkilogram. Program BPDPKS yang lain pun bisa berjalan normal,” katanya.
“Di Komite Pengarah itu ada menteri terkait, perwakilan pengusaha, dan perwakilan petani sawit. Kebetulan perwakilan petani sawit itu adalah Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino,” lelaki 48 tahun ini menambahkan.
Di tiga bulan jelang tutup tahun, pemerintah bersama DPR mengetuk palu Undang-Undang Cipta Kerja. Bagi petani kelapa sawit kata ayah dua anak ini, aturan main ‘sapu jagat’ itu adalah langkah strategis Indonesia untuk lebih maju.
“Setidaknya ada 3 tujuan utama UUCK itu; memberikan kepastian berusaha, membuka lapangan perkerjaan dan mensejahterakan bangsa. Di UUCK itu pula angin segar untuk penyelesaian persoalan legalitas kebun sawit petani yang diklaim dalam kawasan hutan hutan, ada. Itulah makanya Apkasindo mendukung penuh keluarnya UUCK itu dan akan mengawal penuh peraturan turunannya supaya tidak menyimpang dari semangat UUCK tadi,” Gulat memastikan.
Petani sawit Indonesia kata Gulat bersepakat untuk menjadikan 2021 adalah tahun hilirisasi TBS petani. “Saya mengajak semua petani Apkasindo di 22 provinsi 134 kabupaten kota untuk menyatukan tekad dan komitmen, menggapai kesepakatan itu. Di detik-detik pergantian tahun nanti, mari sama-sama berdoa, semoga sawit Indoensia terus berjaya, menjadi kebanggaan, dan berkelanjutan. Salam Setara, Salam Petani Sawit Indonesia,” suara Gulat yang lantang terdengar bergetar.
Abdul Aziz