Jakarta, Gatra.com - Tak ada yang bisa memungkiri kalau saat ini kelapa sawit sudah menjadi sumber devisa utama negara, jadi gantungan hidup lebih dari 20 juta jiwa.
Dan tak ada juga yang bisa memungkiri kalau semakin hari turunan tanaman asal Mauritius Afrika ini semakin beragam dan banyak.
Meski begitu, praktisi perkebunan kelapa sawit, Wayan Supadno mengingatkan supaya petani tidak terlena dengan situasi itu.
"Memang, terlepas dari banyaknya turunannya, sawit akan tetap berjaya. Tapi ingat, bertani, berkebun, musti normatif. Kalau ingin ekonominya berkelanjutan, ekosistemnya juga musti berkelanjutan, dia berjalan paralel," kata lelaki 53 tahun ini saat berbincang dengan Gatra.com, Kamis (31/12) .
Kalau petani punya cita-cita bahwa sawit ini akan berkelanjutan kata ayah tiga anak ini, SDM nya juga musti berkelanjutan. Artinya, SDM untuk meneruskan perkebunan kelapa sawit itu musti disiapkan.
"Saya menerapkan ini di lingkungan keluarga saya. Anak saya saya didik untuk mencintai sawit, mereka kuliah di pertanian, peternakan, bisnis. Dan saya selalu bilang, jangan coba-coba bisa dapat duit kuliah kalau enggak tidur di kebun sawit," ujar Mayor purnawirawan TNI ini.
Bagi Wayan, anak-anaknya adalah generasi penerus bagi kebun kelapa sawit yang sudah susah payah dia bangun.
Kepada anak-anaknya Wayan terus mencekoki penyadaran diri bahwa uang sekolah, makan dan jajan mereka, bersumber dari sawit.
"Jadi, jagalah sawit itu. Kalau enggak mau pusing, hidup enak, teruskan sawit ini supaya untungnya banyak. Siapkan mental, bermesraanlah dengan para pakar," begitulah pesan Wayan.
"Saya membangun mental mereka supaya jadi petani bermental petarung. Begini jugalah semestinya pemerintah, tidak melulu menyuapi petani tanpa dibarengi edukasi yang inovatif. Dampaknya, petani akan malas, tak jadi petarung," tambahnya.
Tak hanya mental, proses kreatif juga ditanamkan oleh satu dari 11 Inspirator Agribisnis 2014 ini. "Tadi sudah saya bilang, ekonomi berkelanjutan melalui ekosistemnya. Ekosistem tak terjaga, ekonomi juga tak akan terjaga," katanya.
Petani Teladan di Masyarakat versi ITS Surabaya mencontohkan Tebu yang dulu tingginya bisa mencapai 3 meter, sekarang sudahlah pendek-pendek, rendemennya pun rendah.
Alhasil, untuk menggenjot Tebu itu biar punya rendemen bagus, Harga Pokok Produksi (HPP) menjadi tinggi.
"Jadinya, harga jual minimum Rp9000, sementara orang masih bisa menjual Rp4000. Cengkeh, Kakao dan sederet komoditi lainnya juga begitu. Gimana kita mau bersaing di pasar," ujarnya.
Kalau yang semacam ini tak ingin dirasakan oleh petani sawit kata Wayan, HPP musti bisa dibikin semakin kecil biar suatu saat ada gejolak ekonomi global, harga tetap kompetitif.
"Jadi, berapapun harga sawit, apa pun yang terjadi di global, kita tetap untung. Begitulah mustinya. Kalau dari bungkil saja sudah bisa menutupi HPP, atau dari cangkang atau limbah, kan sudah enak. Untung kita bisa banyak. Ini enggak sekadar cerita, tapi bisa dicapai," kata Dewan Pakar DPP Apkasindo ini.
Abdul Aziz