Jakarta, Gatra.com - Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta memberikan dua kemungkinan dampak yang terjadi setelah pemerintah melarang dan membubarkan Front Pembela Islam (FPI) pada Rabu (30/12). Dampak itu diperhitungkan karena basis massa yang banyak, kuat, dan militan.
Pertama, menurut Stanislaus adalah kekecewaan oleh anggota sampatisan FPI terhadap pemerintah. Basis massa yang cukup besar dan militan memungkinkan adanya aksi perlawanan.
"Selain itu simpatisan yang berasal dari kelompok lain termasuk kelompok radikal terorisme juga sangat mungkin melakukan aksi balas dendam," kata Stanislaus melalui keterangan resminya, Rabu (30/12).
Kemungkinan kedua adalah tidak ada reaksi dan memilih untuk secara underground melakukan aktivitas dengan nama lain namun dengan ideologi yang sama dengan FPI. Stanislaus melihat hal ini sangat mungkin dilakukan seperti yang terjadi pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), meskipun sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang namun tetap melakukan kegiatan dan propaganda ideologi.
"Kedua kemungkinan tersebut juga dapat terjadi secara bersamaan mengingat massa yang banyak sangat dimungkinkan melakukan kegiatan secara mandiri. Namun, apapun yang terjadi keputusan tersebut harus tetap dilaksanakan dan negara harus mengantisipasi berbagai dampak yang terjadi jangan sampai justru membuat hal yang merugikan masyarakat," papar dia.
Setelah bubarnya dan pelarangan FPI, lanjut dia, maka pemerintah diharapkan terus menjalin dialog dengan berbagai komponen masyarakat termasuk tokoh dan ormas agama teruama untuk menciptakan harmonisasi dan kebinekaan di Indonesia. "Dialog harus dikedepankan sebelum adanya tindakan hukum atau aksi lainnya," pungkasnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan status organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI). Mahfud menyebut FPI belum memenuhi persyaratan legal standing, akan tetapi kegiatannya dianggap telah melanggar ketertiban masyarakat.
"Bahwa FPI sejak tanggal 20 Juni 2019, secara de jure telah bubar sebagai ormas, tetapi sebagai organisasi tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping, provokasi, dan sebagainya," kata Mahfud saat konferensi pers yang disiarkan secara daring melalui YouTube Kemenko Polhukam, Rabu (30/12).
Mahfud menambahkan, keputusan itu juga memakai dasar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 pada 23 Desember 2014. Dengan itu, lanjut dia, pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan kegiatan yang dilakukan FPI karena FPI tidak punya legal standing, baik sebagai organisasi masyarakat maupun organisasi biasa.
Mahfud pun memberikan imbauan kepada aparat pemerintah pusat dan daerah untuk menolak setiap kegiatan organisasi yang dinakhodai Habib Muhammad Rizieq Shihab itu. "Jadi kalau ada sebuah organisasi mengatasnamakan FPI itu dianggap tidak ada dan harus ditolak karena (tidak ada) legal standing yang kita anggap. Terhitung hari ini," jelas dia.
Pelarangan aktivitas FPI dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani oleh enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga. Mereka adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kapolri Jenderal Idham Azis, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar.