Jakarta, Gatra.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD baru-baru ini mengeluarkan pernyataan bahwa polisi siber akan digencarkan pada 2021 mendatang. Polisi siber yang dimaksud yakni aparat kontra narasi yang bertugas mengawasi kabar yang tidak benar di media sosial.
Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan saat ini aparat kepolisian sudah memiliki unit siber sendiri yang tergabung dalam Direktorat Tindak Pidana Siber. Tugas utama dari polisi siber menurutnya tidak hanya mengawasi dan mengawal konten hoaks tetapi lebih utama yakni mengurus ribuan penipuan online di media sosial yang merugikan rakyat triliunan rupiah.
“Terkait dengan patroli polisi siber, tugas utama lain yang seharusnya ditingkatkan ialah penanganan kasus penipuan online. Dalam 5 tahun terakhir jumlah laporan mencapai 13.520 dengan total kerugian mencapai 1.17 trilliun,” ujar Sukamta kepada Gatra.com, Selasa (29/12).
Wakil Ketua Fraksi PKS itu menyatakan laporan penipuan online mencapai 7.047 laporan lebih banyak dari laporan penyebaran konten provokatif 6.745 kasus. Ia menyebut jangan sampai tugas baru mengawal konten hoaks mengenyampingkan tugas polisi untuk menindak pelaku kejahatan siber lainnya.
“Ini jumlah aduan dan kerugian yang besar namun tidak ada langkah serius dan strategis yang dilakukan pemerintah. Pemerintah malah sibuk melakukan kontra wacana terhadap pengkritiknya,” kata Sukamta.
Lebih lanjut, doktor lulusan Inggris itu mengkhawatirkan tugas dari polisi siber nanti akan lebih condong pada penindakan suara-suara kritis terhadap pemerintah yang berpotensi mengebiri kebebasan berpendapat masyarakat.
“Indeks kebebasan sipil Indonesia tahun 2019 menurun dibandingkan tahun 2018 akibat dari kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapat merasa dihalangi atau takut bersuara. Bahkan kini jarang kita mendengar suara kritis dari akademisi, ulama, dan intelektual”.
Kesan itu menurutnya akan menambah curam kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian serta memperburuk kualitas demokrasi. “Memilih diam, tidak berpendapat kritis terhadap pemerintah agar aman dari pasal-pasal karet dalam UU ITE tajam dipergunakan untuk menjerat mereka yang kritis kepada pemerintah namun tumpul ke pembela penguasa. Hal ini menjadi perseden buruk bagi kebebasan berpendapat, kebebasan berdemokrasi yang dijamin UUD 1945”.
Legislator asal dapil Yogyakarta itu menyebut upaya kontra wacana atau hoaks bisa ditangkal jika pemerintah tidak memberi ruang bagi berkembangnya “politisasi hoaks” atau informasi yang simpang siur di antara individu, lembaga, atau instansi pemerintah itu sendiri.
“Informasi hoaks seringkali muncul akibat tidak jelasnya informasi dari pemerintah, respon yang lambat atas suatu kejadian sehingga ada lubang informasi. Lubang informasi inilah yang kemudian diisi oleh informasi hoaks akibatnya masyarakat termakan isu hoaks,” katanya.
Salah satu cara yang belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah yaitu memaksimalkan Kominfo sebagai kementrian yang mengelola komunikasi dan informasi. “Selama ini Kominfo hanya menjalankan fungsi informasi dengan pekerjaan paling terlihat yaitu memblokir website, akun media sosial. Sedangkan fungsi komunikasi yaitu membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang kritis belum berjalan dengan baik.”
Penyebaran konten provokatif dan hoaks, terang Sukamta, semakin terbantu dengan adanya akses teknologi namun berdasarkan indeks literasi, budaya literasi masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal. “Lemahnya budaya literasi inilah menjadi penyebab utama mudahnya masyarakat menelan mentah-mentah berita hoaks,” pungkasnya.