Jakarta, Gatra.com - Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menyampaikan, berbagai regulasi terkait perlindungan HAM bagi perempuan, tersembunyi realita yang menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Wijayanto dalam webinar virtual, Senin (29/12), menyampaikan, berdasarkan data dari Kompas, Jawa tengah menjadi provinsi dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi di Indonesia pada tahun 2019, Jawa Barat mengganti posisi tersebut pada Maret 2020.
Wijayanto juga memaparkan bahwa bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan ada berbagai macam. Kekerasan fisik menempati urutan pertama dengan 37%, kemudian 33% kekerasan seksual, 14% kekerasan psikis, 10% kekerasan ekonomi, dan sisanya bicara tentang kekerasan terhadap buruh dan perdagangan manusia.
Direktur Asia Justice and Right (AJAR), Galuh Wandita, dalam keterangan pers menyampaikan tentang sorotannya mengenai berbagai upaya penegakan hukum terhadap kekerasan yang dialami oleh perempuan-perempuan di Timor-Leste. Lebih tepatnya, riset aksi untuk memperkuat penyintas dan memotong rantai Impunitas.
Dia menegaskan bahwa impunitas itu terus berulang. Dimulai dari sejak kekerasan seksual saat penjajahan Jepang dan berulang lagi di Timor-Leste. Bahkan lokasi diberlakukannya kekerasan seksual pada dua rezim tersebut pun berdekatan, membentuk suatu pola rantai impunitas.
AJAR, lanjut Galuh, menambahkan, telah berupaya membuat tools untuk menekan kekerasan berbasis gender dalam masyakat di Timor-Leste, Indonesia, dan Myanmar.
Program tersebut telah melibatkan 140 perempuan dan menghasilkan berbagai publikasi yang menyoroti aktor-aktor yang bertahan di tengah lingkar impunitas. Sayangnya, rekomendasi dari Komisi Kebenaran yang aktif melibatkan AJAR hingga 2005 belum juga dilakukan, sehingga masyarakat sipil bersama organisasi perempuan mengoordinasikan para korban untuk melakukan gerakan sosial terkait isu kekerasan HAM.
Ketika impunitas ini terus dibiarkan begitu saja, demokrasi tidak dapat ditegakkan secara substantif. Sehingga demokrasi prosedural yang selama ini diagung-agungkan menjadi 'kosong' tanpa adanya jaminan terhadap HAM.
Sementara itu, Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem, mempertajam temuan dari Galuh dengan memaparkan berbagai konflik HAM yang melibatkan perempuan sebagai korban setelah tahun 2015.
Menurutnya, tidak kurang ada 659 konflik pada 2017 yang melibatkan lebih dari 650.000 keluarga. Dari angka itu, 30% atau 199 konflik berhubungan dengan kepemilikan lahan, dan 14% atau 94 konflik berhubungan dengan pembangunan infrastruktur.
Sebenarnya, kebijakan terkait manajemen konflik pascareformasi sudah lumayan banyak. Setidaknya, ada sekitar 39 kebijakan yang sudah dikaji, secara garis besar meliputi kebijakan terkait upaya menyikapi konflik-konflik, yakni konflik bersenjata dan pelanggaran HAM, konflik sosial dan terorisme; konflik dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, konflik pengelolaan SDA dan agraria; dan penggusuran paksa.
Hanya saja, optimisme yang disajikan melalui serangkaian regulasi tersebut tidak dapat memenuhi dan menjamin hak-hak perempuan secara penuh. Bahkan beberapa kebijakan justru memperbesar kesenjangan sosial dan diskriminasi, ada kontradiksi antar regulasi yang disahkan, dan batasan terhadap negara untuk berfungsi dengan efektif dalam menangani konflik.
Situasi ini terjadi karena adanya kemunduran demokrasi dan peranan hukum dalam menegakkan HAM karena adanya politik transaksi, korupsi, primordialisme, dan politisasi identitas. Diperparah lagi dengan paradigma pembangunan new development yang melibatkan militer dalam proses pembangunan ekonomi negara.
Kemudian, lanjut Sri Lestari, negara juga bersikap dengan pemikiran sempit dan sangat pragmatis dalam proses resolusi konflik, juga sangat berpegang pada pendekatan keamanan yang justru menimbulkan konflik baru.
Belum lagi ditambah dengan ketidakkonsistenan komitmen politik dan juga kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan yang tidak disokong oleh kebijakan afirmatif yang kuat.
Untuk mengisi celah besar yang ditinggalkan oleh negara dalam penegakan HAM bagi perempuan, masyarakat sipil pun hadir melalui transitional justice atau keadilan transisi yang dapat dilihat melalui penegakan hukum HAM dan pergerakan pada grass-root.
"Tetapi pendekatan ini memiliki hambatan secara konsep dengan adanya ketidaksetaraan struktur dan secara politis dengan semakin mengakarnya impunitas dalam rezim represif yang tengah berlangsung," ujarnya.
Memperkuat argumen dari dua pembicara sebelumnya, Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta, Atnike Nova Sigiro, mengungkapkan bahwa dalam sejarah Indonesia, ada beberapa skenario pelanggaran berat HAM yang selalu diiringi oleh kekerasan terhadap perempuan. Pertama, terkait dengan konflik bersenjata dalam waktu lama. Hal ini seperti yang terjadi di Aceh. Kedua, setiap transisi politik yang besar.
Seperti pada tahun 1965, terdapat kekerasan terhadap perempuan yang dicap sebagai Gerwani. Lalu, juga pada 1998 kekerasan terhadap perempuan juga terjadi pada saat kerusuhan. Ketiga, konflik horizontal seperti konflik di Poso dan Ambon.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan di tengah konflik pelanggaran berat HAM akan memiliki dampak berantai. Karena konflik besar tersebut pasti melibatkan keluarga yang pada akhirnya juga menjadi beban perempuan. Misalnya, ketika suami hilang atau meninggal atau menjadi difabel akibat konflik, maka perempuan akan menggantikan peran sang suami. Oleh karenanya, maka acap kali ditemukan keluarga yang dipimpin oleh perempuan di daerah-daerah rawan konflik.
"Tetapi ironisnya, ketika konflik berhasil mencapai resolusi, maka perempuan sebagai korban pun dilupakan dalam wacana publik," katanya Atnike.
Selain beban berantai akibat beban keluarga, perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam konflik pelanggaran berat HAM akan memperoleh stigma. Misalnya, pada konflik 1965, perempuan yang menjadi korban kekerasan akan diberikan ‘label’ sebagai Gerwani yang kejam. Kemudian, korban Tanjung Priok pada 1980 mendapatkan stigma sebagai gerakan pengacau keamanan.
Pada Mei 1998, perempuan yang terbakar, kehilangan keluarganya atau menjadi difabel akan mendapat stigma sebagai penjarah. Belum lagi termaksud korban trauma psikis dan fisik yang tidak hanya dialami oleh individu yang dipenjara atau menjadi korban secara langsung, tetapi juga dialami oleh anggota keluarga lainnya.