Pekanbaru, Gatra.com - Aroma alot sepanjang webinar Focus Group Discussion (FDG) yang digelar oleh LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB) Selasa pekan lalu itu masih terasa oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), sampai sekarang.
Soalnya di acara serap aspirasi terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang hanya 56 halaman itu, petani kelapa sawit sangat terpojokkan, berbanding terbalik dengan misi yang diusung Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020, induk dari RPP itu.
Di webinar yang dijejali lebih dari 140 audiens itu, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto menyebut, ada 3,3 juta hektar kebun kelapa sawit, terlanjur masuk dalam kawasan hutan.
Memang, dia menyebut meski berada dalam klaim kawasan hutan, bukan berarti semua ilegal. Itu lantaran ada tata ruang yang tak singkron.
Tapi bagi Apkasindo, omongan Sigit tadi sudah seperti bara api, sebab dari 3,3 juta hektar tadi, sekitar 70 persen milik petani.
Bara api ini makin menyala manakala Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki), DR. Petrus Gunarso mengingatkan bahwa investasi petani di kebun sawit itu mencapai Rp170 triliun.
"Kami coba menghitung kembali berapa sebenarnya kerugian yang diderita oleh petani dan Negara, jika kebun sawit itu kelak ditebangi dan dijadikan hutan. Angkanya luar biasa," cerita Ketua Umum DPP Apkasindo, DR (c) Gulat Medali Emas Manurung, saat berbincang dengan Gatra.com, tadi siang.
Tim Apkasindo kata Gulat mengambil acuan bahwa semua kebun kelapa sawit yang ada dalam klaim kawasan hutan itu sekitar 3,5 juta hektar.
"Angka ini bisa jadi lebih besar lagi. Sebab di Riau saja, kebun sawit yang diklaim dalam kawasan hutan sudah mencapai 1,6 juta hektar. Dari angka 3,5 juta hektar tadi, luas kebun milik petani mencapai 2,73 juta hektar," taksir lelaki 48 tahun ini.
Nah, khusus untuk petani, Apkasindo membagi kerugian itu dalam tiga poin; pertama, kerugian pada biaya fisik kebun yang mencapai Rp300,3 triliun.
Lalu kerugian biaya sosial (setiap hektar akan kehilangan 3 orang rantai pekerja) mencapai Rp40,95 triliun dan terakhir kerugian akibat petani terpaksa membuka usaha baru setelah tergusur dari kebunnya, Rp12,85 triliun.
Kalau dihitung-hitung, total kerugian petani itu mencapai Rp464,1 triliun. Hanya saja, angka ini masih jauh dibawah jika dihitung pula kerugian yang ditanggung oleh negara bila 3,5 juta hektar sawit itu ditebang.
Kerugian pertama bersumber dari pemerintah yang harus reinvetasi selama 20 tahun untuk memulihkan luasan lahan tadi menjadi hutan. Adapun duit yang musti digelontorkan pemerintah mencapai Rp525 triliun. Itu jika biaya reinvestasi perhektar, mencapai Rp150 juta.
Kerugian kedua, pemerintah harus kehilangan pemasukan duit dari Crude Palm Oil (CPO) kebun sawit yang dimusnahkan. Baik itu dari penjualan CPO, bea keluar, maupun pungutan ekspor.
"Untuk program B30 pun bisa-bisa akan mandek lantaran lantaran stok dalam negeri tidak cukup," Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino, MT, menimpali.
Kalau misalnya produksi CPO Indonesia mencapai 48 juta ton, 70 persen sudah untuk ekspor, sisanya dipakai didalam negeri.
"Yang dipakai di dalam negeri ini kan berkurang 10 juta ton oleh pemusnahan kebun sawit yang 3,5 juta hektar tadi. Gimana pula kita akan bisa naik ke B40? Boro-boro naik ke B40, yang ada bisa-bisa terjun ke B20 atau B10," katanya.
Lantaran CPO berkurang kata Rino, mau tak mau negara musti mengimpor solar equivalen 9 juta kilo liter yang nilainya mencapai USD8 miliar.
"Kerugian kedua di atas baru hitungan untuk satu tahun. Kalau misalnya usia produktif kelapa sawit masih 10-15 tahun, kalikan saja," mimik wajah Gulat nampak datar.
Jadi kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, kalau dihitung kerugian petani dan negara akibat yang 3,5 juta hektar tadi, totalnya mencapai Rp1.369,7 triliun.
"Ini sama saja artinya, jika RPP dipaksakan, petani jadi arang, pemerintah jadi abu," suara ayah dua anak ini terdengar tegas.
Abdul Aziz