Dorongan Australia untuk penyelidikan asal-muasal pandemi Covid-19 membuat Cina melakukan blokade perdagangan termasuk menolak masuk batu bara Australia. Australia terancam menghadapi kemunduran ekonomi pasca-pandemi.
Puluhan kapal pengangkut batu bara dari Australia terdampar di dekat pantai Cina. Kapal-kapal pengangkut berukuran besar itu tidak bisa masuk ke Tiongkok setelah negara tersebut menerbitkan larangan impor batu bara, meski tidak diumumkan resmi.
Salah satu yang terjebak adalah Anastasia, kapal milik Mediterranean Shipping Company (MSC), sebuah grup pelayaran internasional Swiss-Italia. Anastasia berlayar dari pelabuhan Hay Point Queensland, Australia, pada 19 Juli lalu untuk mengangkut sekitar 90.000 ton batu bara Australia.
Kapal ini tiba di Pelabuhan Caofeidian, di daerah timur laut Tiongkok pada 3 Agustus. Namun, otoritas Cina melarang Anastasia membongkar muatannya. Ada 18 awak kapal yang berasal dari India, Filipina, dan Rusia. Mereka dalam kondisi buruk lantaran kualitas air yang buruk, dan kondisi mental mereka pun mulai parah.
"Sebagian besar dari mereka menghadapi masalah medis, karena mereka berusia antara 50 dan 60 tahun," kata penanggung jawab kapal Anastasia, Gaurav Singh, kepada ABC.
Hubungan dagang antara "negeri panda" dan "negeri kanguru" memang tengah memanas. Beijing kesal lantaran Australia menyerukan penyelidikan terkait asal-usul pandemi Covid-19. Tak cuma itu, Australia melarang perusahaan Cina, Huawei Technologies Co., berpartisipasi dalam jaringan 5G di negaranya pada 2018 silam.
"Untuk meningkatkan kerja sama, Australia harus berhenti dulu membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab," kata mantan Wakil Menteri Perdangan Cina, Wei Jianguo dilansir Bloomberg.
Cina memang tidak tinggal diam. Tiongkok balik menekan lewat aksi dagang yang menyasar produk ekspor Australia sekitar Mei. Pada mulanya, gebukan Cina terbatas pada ekspor jelai (barley) dan daging sapi lewat penerapan tarif. Namun, beberapa bulan belakangan Cina juga menyasar lebih banyak komoditas unggulan Australia.
Selain jelai, Tiongkok juga menyetop impor daging sapi yang berasal dari Australia. Tiongkok juga menyerukan agar para pengusaha berhenti membeli beberapa komoditas unggulan Australia, di antaranya minuman anggur dan tembaga. Tak cuma itu, mereka pun mewanti-wanti warganya agar tidak berlibur atau belajar di Australia.
Sekitar 70% produk biji-bijian Australia diekspor ke Cina. Tahun ini, produksi jelai mereka ditaksir mencapai 12 juta ton. Pemerintah Australia merespons kebijakan tarif tersebut dengan menggugat Cina ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pada 16 Desember lalu. Aduan ini dilakukan setelah Beijing menerapkan bea antidumping dan antisubsidi hingga 80,5% terhadap produk jelai Australia.
Dalam gugatannya, Australia meminta Cina meninjau ulang kebijakan tarif terhadap ekspor jelai asal Australia. Menteri Perdagangan Australia, Simon Birmingham, menyatakan langkah hukum diambil setelah berkonsultasi secara ekstensif dengan pelaku usaha. Keputusan ini diambil untuk melindungi produsen jelai dan para eksportir.
"Penyelesaian sengketa di WTO tidak sempurna dan memakan waktu lebih lama. Namun, WTO memberikan pengawasan yang independen dan transparan untuk berbagai masalah, serta ada partisipasi dari negara lain atau pihak ketiga," kata Simon dalam laman resmi Kementerian Perdagangan Australia.
Sebelum mengambil hukum ke WTO, Australia menyangkal tuduhan adanya subsidi terhadap produksi jelai lokal. Australia mengklaim petani mereka paling sedikit menerima subsidi di antara negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Karena tak juga menuai sepakat, mereka melibatkan WTO untuk menjadi wasit di perseteruan dagang ini.
Jika hubungan bilateral dua negara ini semakin menegang, maka Australia akan menutup tahun 2020 dengan tekanan. Karena, meski secara statistik perekonomian Australia menunjukkan pemulihan akibat wabah corona, sikap Cina berpotensi menjegal pemulihan tersebut.
Pasalnya, Cina merupakan pasar besar bagi produk-produk Australia. Periode 2018--2019, nilai ekspor Australia ke Cina mencapai US$116,79 milyar, atau dengan 32,6% total ekspor mereka.
Pukulan terberat Cina adalah larangan impor batu bara dari Australia. Cina beralasan, larangan tersebut terkait isu lingkungan atas keterlambatan proses impor. Diberitakan Bloomberg, pejabat Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Xiaolong, menjelaskan kebijakan dagang itu diambil untuk melindungi kesehatan warganya.
Di sisi lain, Pemerintah Australia mencurigai adanya instruksi tidak resmi Pemerintah Cina untuk tidak membeli batu bara mereka sejak Oktober. Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mendesak mitra dagang strategisnya itu menjelaskan alasan penyetopan ekspor tersebut. Jika langkah itu merupakan sikap resmi, menurutnya, Beijing melanggar aturan dagang WTO.
Ia menambahkan kalau larangan ekspor tersebut akan membawa kerugian bagi kedua belah pihak, baik dari sisi kerjasama dagang maupun kelestarian lingkungan. Morrison mengklaim batubara asal negaranya lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan batu bara dari negara lain. "Batu bara asal negara lain memiliki emisi 50% lebih tinggi daripada batu bara Australia," kata Morrison seperti dilaporkan Reuters.
Di tengah tensi bilateral, Cina menunjuk Australia-lah yang bertanggung jawab atas memburuknya hubungan politik ataupun dagang bekalangan ini. Pasalnya, muncul sentimen anticina yang digaungkan beberapa politisi, tokoh masyarakat, hingga media Australia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin, menegaskan pihaknya tidak akan pernah menerima tudingan praktik perdagangan tidak adil, padahal Australia menargetkan perusahaan Cina lewat peningkatan pemeriksaan keamanan berinvestasi.
"Kami berharap pihak Australia becermin, konsisten dengan kata-kata dan tindakannya, serta secara efektif menciptakan kondisi dan suasana yang baik untuk kerja sama Cina-Australia di berbagai bidang, bukan sebaliknya," kata Wang, dilansir AP News.
Putri Kartika Utami