Palangkaraya, Gatra.com - Walau sempat jadi Kaur Umum Desa Sebabi Kecamatan Telawang Kabupaten Kota Waringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah (Kalteng), Yastok Saling Kupang sama sekali tak tahu menahu soal apa itu kawasan hutan.
Apalagi yang namanya tim tata batas kawasan hutan, selama dia menjabat, tak pernah sama sekali ada tim semacam itu datang.
"Belakangan kami baru dapat cerita kalau desa ini masuk dalam kawasan hutan produksi, termasuklah pasar dan hotel yang ada di sini," cerita lelaki 55 tahun ini kepada Gatra.com saat berbincang disalah satu saung yang ada di desa itu dua pekan lalu.
Gara-gara status kawasan hutan tadi kata ayah tiga anak ini, desa yang dihuni sekitar 5.323 jiwa itu --- data penduduk 2019 --- kesulitan membikin sertifikat lahannya.
"Yang punya kebun sawit sudah risau, soalnya oknum-oknum sudah mendatangi pemilik kebun dengan dalih kebunnya masuk dalam kawasan hutan. Peninglah jadinya," ujar lelaki Dayak ini.
Bendahara Majelis Adat Dayak Nasional, DR. Dagut Djunas tak heran dengan pengakuan Yastok tadi. Sebab Kalteng dengan total 1.560 desa itu, 700 desa di antaranya justru berada dalam klaim kawasan hutan.
Yang semacam ini terjadi kata Dagut lantaran Kalteng yang luasnya sekitar 15.1508 juta hektar, 82 persennya diklaim menjadi kawasan hutan.
"Saya hafal angka-angka ini lantaran saya lama jadi Kepala Bidang Tata Ruang Provinsi Kalteng, bahkan sempat jadi Ketua Teknis Tata Ruang," cerita lelaki 56 tahun ini saat berbincang dengan Gatra.com di Palangkaraya, dua pekan lalu.
Dari jumlah desa yang berada dalam kawasan hutan tadi kata Dagut, 285 sudah tak berhutan lagi. Kampung sudah berbatasan langsung dengan kebun kelapa sawit perusahaan.
"Di Kalteng ada sekitar 400 perusahaan kebun kelapa sawit. Tapi hanya 116 perusahaan yang mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Lagi-lagi saya bilang, saya tahu data ini lantaran saya orang birokrat," Dagut tegas-tegasan.
Kepala Departemen Penguatan Organisasi dan Pendidikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata tak menampik data yang disodorkan oleh Dagut tadi.
Walhi Kalteng sendiri mencatat bahwa lebih dari 70 persen kawasan hutan yang disebut Dagut itu justru sudah dikuasai oleh korporasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Perkebunan dan Pertambangan.
"Di dalamnya belum termasuk proyek Restorasi Ekosistem (RE) dan Taman Nasional. Di Kalteng ini ada dua perusahaan RE," rinci lelaki 29 tahun ini saat berbincang dengan Gatra.com di kantornya di kawasan jalan Talenta Palangkaraya, dua pekan lalu.
Jor-jorannya kaplingan perusahaan di Kalteng kata Bayu tak lepas dari besarnya campur tangan pusat di 'Bumi Isen Mulang' itu.
"Tak hanya soal kawasan hutan, tapi juga proyek food estate. Gampang sekali pusat menjadikan Kalteng sebagai lokasi food estate sementara secara kebijakan, belum ada Kepres ataupun Perpres yang menyatakan Pulang Pisau dan Kapuas jadi area food estate itu," katanya.
Padahal kata Bayu, sebelum food estate ada, persoalan di Kalteng sudah segunung, termasuk lah soal klaim kawasan hutan tadi. Sebab menurut Bayu, ada 400 desa yang pusat aktivitas masyarakatnya berada dalam kawasan hutan.
"Yang lebih parah itu ada di Lamandau, hampir 100 persen berada di kawasan lindung. Masyarakat di sana enggak bisa ngapa-ngapain," katanya.
Satu lagi yang bikin kacau kata Bayu, saat memberikan izin di kawasan hutan, pusat cenderung tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung daerah.
"Di Gunung Mas misalnya, izin perusahaan justru lebih luas dari luas administrasi daerah itu. Misalnya luas administrasinya hanya 300 ribu hektar, izin yang ada malah mencapai 350 ribu hektar," ujar Bayu.
Terkait keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan tadi, Walhi Kalteng bersama Civil Society Organization (CSO) lain kata Bayu sudah berusaha mendorong supaya wilayah kelola dan budidaya masyarakat yang totalnya seluas 1,7 juta hektar tidak lagi berada dalam kawasann hutan.
"Kami mendorong ini melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalteng. Hanya saja upaya ini masih tarik ulur dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)," cerita Bayu.
Tapi setelah ditelusuri kenapa sampai terjadi tarik ulur itu kata Bayu, ternyata ada sederet oknum perusahaan yang mendompleng upaya tadi.
"Perusahaan-perusahaan yang terlanjur masuk dalam kawasan hutan ini sudah holding zone pada Perda 5 2015 tentang RTRW Kalteng. Luasnya mencapai 1,5 juta hektar, mereka ingin diputihkan," katanya.
Serampangannya izin-izin dan luasnya kawasan hutan di Kalteng kata Bayu telah membikin ruang gerak masyarakat teramat sempit.
Situasi ini mau tak mau akan memicu konflik agraria. "Dan ini akan jadi bom waktu meski konflik itu sebenarnya sudah ada. Kajian Walhi Kalteng, dari 2018-2020 lebih dari 245 konflik agraria sudah terjadi. Itu hampir di semua kabupaten. Konflik terbesar itu ada di sektor perkebunan," katanya.
Kemarin, dalam webinar yang digelar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto menyebut bahwa sebelum-sebelumnya beberapa undang-undang belum mengatur secara tegas keberadaan masyarakat terkait kawasan hutan. Itulah makanya penyelesaiannya belum optimal.
Di acara yang bertajuk serap aspirasi terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) itu Sigit sempat juga menyebut bahwa ada 3,3 juta hektar kebun kelapa sawit berada dalam kawasan hutan.
Tapi kalau merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Permenhut 44 tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, Sigit terkesan hanya berdalih.
Sebab di dua aturan itu tegas-tegas dibilang bahwa walau sudah ditetapkan pun sehamparan kawasan hutan tapi masih ada hak masyarakat di dalamnya, maka hak masyarakat itu musti dikeluarkan.
Begitu juga dengan hak adat, bahwa di pasal 57 Permenhut itu dbilang, sebagian maupun secara keseluruhan tanah ulayat yang ada di kawasan hutan, musti di keluarkan. Nah lho...
Abdul Aziz