Bandung, Gatra.com - Program vaksin Covid-19 yang dikerjakan pemerintah harus dilakukan dengan pertimbangan matang, baik dari sisi kualitas vaksin, maupun anggaran dana yang dibutuhkan. Pasalnya, jika hal itu tidak dilakukan, bukan tidak mungkin program vaksinasi justru malah menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjajaran (Unpad) Arief Anshory Yusuf menilai kegagalan program vaksinasi di Indonesia bisa picu kerugian ekonomi mencapai Rp1600 Triliun per tahun.
Angka tersebut didapat berdasarkan perhitungan kuartal III dan IV ekonomi Indonesia yang mencatat aktivitas mobilitas orang di Indonesia masih 20 persen lebih rendah di bawah normal.
"Kalau vaksin ini gagal maka akan selalu begitu. Nah 20 persen mobilitas ekonomi di bawah normal ini kalau saya translasikan ke kapasitas ekonomi, itu kira-kira 10 persen di bawah kapasitas, kalau dirupiahkan itu kerugiannya sebesar Rp1600 triliun," kata Arief kepada GATRA, Selasa (23/12).
Menurutnya agar progam vaksin tidak gagal, hal yang pertama dilakukan adalah melihat kualitas vaksinnya. Arief mengatakan, vaksin di Indonesia berbeda konteks dengan vaksin di Amerika, Inggris atau di Singapura. Di negara-negara itu vaksin sudah jelas ada dan efikasinya juga terulur. Sedangkan, di Indonesia efikasi dan daya tahan vaksin belum teruji.
"Masih di antara ada, dan tidak ada. Jadi kalau di bilang vaksinnya ada, ya ada. Tapi kan kalau ditanya efikasinya, ya belum jelas juga," ucap Arief.
Terlepas dari itu, Ia mengapresiasi langkah pemerintah menggratiskan vaksin. Pasalnya, suntik vaksin berbayar sangat berpotensi pada kegagalan program vaksinasi itu sendiri.
Menurutnya, anggaran yang dimiliki pemerintah untuk menggulirkan vaksinasi gratis sebetulnya lebih dari cukup. Berdasarkan perhitungannya, tiap satu kali program vaksinasi tak akan menyedot anggaran lebih dari Rp100 triliun. Nominal tersebut masih lebih rendah dibanding alokasi anggaran dana PEN tahun 2020 yang mencapai Rp695 triliun.
"Anggaran kita jauh lebih dari cukup, kalau saya hitung biaya vaksinnya saja hanya mencapai Rp 44 triliun, ditambah ongkos distribusi dan lainnya, katakanlah jadi Rp 100 triliun. Angka itu kan masih jauh lebih kecil, dibandingkan nilai anggran dana PEN," paparnya.
"Pilihannya ada dua. Divaksin dengan anggaran Rp100 triliun. Atau dibiarkan orang bayar vaksin sendiri dengan potensi kegagalan kerugian ekonomi 1600 triliun per tahun," tambahnya.
Lebih jauh, ia berharap pemerintah melalui Menteri Kesehatan yang baru tidak mengandalkan program vaksinasi Covid-19 sebagai satu-satunya cara dalam menanggulangi Pandemik. Kebijakan seperti testing, tracing, dan treatment (3T) yang saat selama ini abai dilakukan, bisa lebih digencarkan lagi.
"Coba ini dimaksimalkan lagi. Kemarin saya baca Positivity rate Indonesia mencapai sekitar 25 persen. Artinya tes kita masih rendah, standarnya kan 5 persen," jelasnya.
"Intinya, Vaksin gratis memang harus. Tapi itu bukan satu-satunya jawaban atas tantangan. Karena dengan digratiskan vaksin, belum tentu kita berhasil menyelesaikan masalah Covid-19," pungkasnya.