Kotim, Gatra.com - Sebetulnya Yastok Saling Kupang tak ambil pusing meski sejak 14 tahun lalu, kata 'kawasan hutan' sudah berpendar di kampungnya, di Desa Sebabi Kecamatan Telawang, Kabupaten Kota Waringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Selain lantaran tak mengerti dengan istilah itu, lelaki 55 tahun ini juga tak melihat ada gelagat tak baik yang akan terjadi di kampungnya oleh bahasa kawasan hutan itu.
Lantas, kalaupun misalnya kawasan hutan itu benar adanya, ayah tiga anak ini beranggapan pasti bakal ada surat dari pemerintah kabupaten atau kecamatan untuk membenarkan kabar itu.
Dan kalau pun ada, Yastok pasti menjadi salah satu orang yang paling duluan tahu, sebab dari tahun 1994 lelaki Dayak ini sudah menjabat Kaur Umum desa. Jabatan itu baru dia lepas 4 tahun lalu.
Selama Yastok menjabat, sudah 4 kepala desa berganti dan selama itu, tak selembar suratpun terkait kawasan hutan itu kata Yastok, hinggap di kantornya. Entah itu dari pemerintah provinsi, kabupaten, maupun kecamatan.
Semua kepala desa yang pernah menjadi bosnya pun dia pastikan tak pernah meneken apapun terkait kawasan hutan tadi.
"Saya orang lapangan, kalau misalnya ada tim pengukuran dari pemerintah, saya pasti segera tahu," cerita Yastok saat berbincang dengan Gatra.com di salah satu warung lesehan di pinggir jalan lintas desa itu --- jalan lintas yang menghubungkan Sampit-Pangkalan Bun --- Sabtu pekan lalu.
Jelang melepas jabatan, adalah beberapa kali Yastok menghadiri undangan terkait lahan di kampungnya itu. Dari sinilah dia mulai galau.
Sebab di acara itu, ada orang yang mengaku dari otoritas kehutanan menyebut kalau di kampungnya ada kawasan hutan berwarna hijau, merah dan kuning.
"Saya makin bingunglah, termasuk orang di kampung. saat saya cerita. Bingung lantaran di lapangan tak ada warna seperti dibilang di undangan itu. Yang mana hutan produksi pun kami tak tahu ciri-cirinya," tak sadar lelaki ini memperagakan rasa bingungnya.
Makin hari rasa takut mulai menggelayuti hari-hari Yastok. Sebab sejumlah petani kelapa sawit dia dengar sudah dipanggili oknum berseragam.
Alasan pemanggilan itu macam-macam. Mulai dari tuduhan tak punya Izin Usaha Perkebunan (IUP), hingga tuduhan berkebun kelapa sawit di kawasan hutan.
"Tahu sendirilah ujung-ujungnya apa. Apalagi terhadap kebun petani yang disegel. Saya sendiri punya kebun kelapa sawit 7 hektar, saya tak bisa membayangkan gimana nasib saya nanti" suara lelaki ini terdengar bergetar.
Dari penelusuran Gatra.com, keresahan imbas dari kawasan hutan ini tidak hanya terjadi di Kotim, tapi juga merembet ke daerah sawit lainnya seperti di kawasan Desa Terawan Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Terawan hingga ke wilayah Tumbang Samba, Kabupaten Katingan.
Di Sumatera seperti di Riau, Sumatera Utara (Sumut) dan Jambi, nasib seperti yang dialami oleh petani kelapa sawit di Kalteng ini, juga terjadi.
Belakangan malah semakin parah. Gara-gara kawasan hutan itu, para petani kelapa sawit ini tidak hanya 'dihajar' oleh oknum berseragam, tapi juga oknum lain yang sengaja menggugat kebun kelapa sawit petani itu.
Ujung-ujungnya sudah bisa ditebak, segepok duit musti disetor si petani. Jumlahnya beragam, mulai dari jutaan rupiah, hingga ratusan juta rupiah.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, tak menampik itu. Sebab dia juga banyak mendapat laporan kalau anggotanya musti merogoh kocek dalam-dalam biar bisa lepas dari jeratan oknum-oknum tadi. Jeratan klaim kawasan hutan yang tak jelas juntrungannya.
"Tadinya kita berharap lewat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Undang-Undang Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020, bisa menjadi solusi bagi petani yang terjebak dalam klaim kawasan hutan itu. Tapi yang ada justru semakin rumit. Petani malah akan harus bayar denda dengan nilai tak masuk akal. Sudahlah bayar denda, tanahnya diambil pula oleh negara setelah kebun kelapa sawit petani tidak produktif lagi," rutuk lelaki 48 tahun ini.
Kalau dirunut lagi ke belakang kata ayah dua anak ini, Pasal 44 ayat (2) Permenhut No. 44 Tahun 2012 jelas-jelas mengatakan bahwa:
"Dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada di dalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan."
"Ketentuan itu sudah jelas-jelas sangat menghargai hak-hak masyarakat. Sekalipun sudah temu gelang, hak masyarakat tetap harus diselesaikan, bukan didenda. Beda kalau kawasan hutan itu bertutupan hutan dan sudah ditetapkan serta diberikan pamplet kawasan hutan tapi kemudian dijarah oleh masyarakat, itu sudah cerita lain," tegasnya.
Pakar perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo mengamini apa yang dibilang oleh Gulat tadi.
"Apa yang dikenal orang sebagai kawasan hutan sesungguhnya baru klaim sepihak dari penguasa dan hingga awal 1980 an, kawasan hutan yang sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria belum ada. Alhasil dibikinlah jalan pintas dengan menyalahgunakan kewenangan hingga muncul apa yang disebut tata Guna Hutan Kesepakatan," ujar lelaki 64 tahun ini.
Ulah TGHK tadi, banyak kampung dan desa yang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, tiba-tiba diklaim berada dalam kawasan hutan.
"Bahkan Kota Pekanbaru, Riau dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pernah ada dalam kawasan hutan itu," rinci Phd jebolan University of Missouri-Columbia USA ini.
Oleh klaim kawasan hutan tadi kata staf Sudarsono, rakyat dituduh melanggar hukum padahal "Yang terjadi sesungguhnya adalah rakyat yang digilas oleh hukum yang dijalankan oleh kekuasaan yang buta itu," tegasnya.
Abdul Aziz