Yogyakarta, Gatra.com – Efek karambol penularan Covid-19 membuat pembukaan kegiatan belajar di sekolah makin berisiko meningkatkan kasus. Di ‘kota pelajar’ Daerah Istimewa Yogyakarta, ditemukan fasilitas protokol kesehatan untuk siswa tak memadai, bahkan siswa positif Covid-19 masuk sekolah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ‘Prospek Pendidikan Luring di Tahun Baru’, Minggu (13/12) malam, gelaran komunitas Sonjo Angkringan, Yogyakarta.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Risalia Santi menjelaskan kasus Covid-19 pada anak usia sekolah mencapai 10 persen sesuai data Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hingga kemarin, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 617.820 penderita.
“Satu dari sembilan kasus positif adalah anak usia sekolah 0-18 tahun. Kematian anak bahkan 3,2 persen dan angka ini tertinggi di Asia Pasifik,” kata Risalia.
Ia menjelaskan, laju penyebaran virus Sars-COV2 juga. Ini terbukti dari hari ke hari. Dulu 50 ribu kasus dalam tiga bulan, sekarang hanya delapan hari. Ini jadi catatan krusial kita,” katanya.
Grafik rerata kematian harian pun meningkat. “Apalagi sejak libur panjang Maulid Nabi, akhir Oktober, sampai sekarang. Ini sekarang kita juga cemas efek klaster pilkada,” tuturnya.
Menurut dia, penularan Covid-19 saat ini bak permainanan karambol. “Ketemu satu, teman-temannya (yang tertular) banyak. Tren kematian juga naik luar biasa. Rata-rata 103 kematian bulan lalu, selama 10 hari Desember ini 142 kematian atau naik 40%,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, idealnya temuan satu kasus dilacak hingga 30 orang. Namun Indonesia hanya sepertiga dari pelacakan ideal tersebut. “Angka kasus Covid-19 saat ini masih gunung es, di bawah masih banyak, di sekitar kita, yang hidden atau belum ditemukan,” katanya.
Kondisi nasional itu juga tercermin di DIY yang kini mencatat 8.147 kasus Covid-19. ”Angka transmisi 1,8, atau satu orang menulari 2 orang lain, melebihi angka transmisi nasional yang 1,5,” ujar Risalia yang terlibat dalam pelacakan Covid-19 di DIY.
Data Pemda DIY menunjukkan hingga minggu ke-17 pandemi, sebanyak 20 persen penderita Covid-19 berumur 0-20 tahun atau usia sekolah. Adapun 11 persen kasus dari kegiatan pendidikan, termasuk di pondok pesantren.
Banyaknya kasus di pesantren karena pondok tak ideal menerapkan karantina 14 hari untuk santri dari luar daerah. “Ternyata tujuh hari diisolasi sendiri, tapi saat banyak santri datang, ponpes tidak cukup, sehingga tujuh hari berikutnya santri sudah dicampur dengan santri lain,” kata dia.
Menurut dia, anak yang positif Covid-19 tanpa gejala dan bergejala ringan dapat menjadi sumber penularan bagi teman dan keluarga. “Banyak laporan juga gejala berat Covid-19 pada anak karena peradangan hebat akibat infeksi Covid-19 ringan yang dialami sebelumnya,” kata dia.
Untuk itu, Risalia, mengingatkan kegiatan belajar tatap muka di sekolah berisiko tinggi dalam melonjakkan kasus Covid-10. Hal ini telah dialami sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Perancis, dan Israel. “Kalau nanti sekolah dibuka, kebijakan ini perlu dievaluasi. Gas-remnya harus dilihat,” kata dia.
Menurutnya, pembukaan sekolah harus memperhatikan situasi wabah di daerah sekitar dan kesiapan warga sekolah dan masyarakat. Sarana prasarana prokes harus dipantau. Sebab ia menemukan perlengkapan prokes di seolah rusak. “Maintenance juga harus baik,” kata Risalia.
Selain itu, prosedur jika warga sekolah positif Covid-19 harus disiapkan, memperhatikan sistem layanan kesehatan setempat, dan perlu prakondisi dan tahap-tahap pelaksanaan.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Didik Wardaya menyebut kebijakan pembukaan sekolah telah diserahkan pemerintah pusat ke pemeritah daerah. “Sebab daerah dianggap paling tahu. Pemerintah memberikan penguatan peran pemda,” kata dia.
Peningkatan kasus Covid-19 di DIY, termasuk pada anak, jadi pertimbangan pembukaan sekolah. Apalagi Didik baru menerima laporan seorang siswa SMK yang positif Covid-19 karena tertular di keluarga sempat masuk sekolah. Sejumlah SMK di DIY sudah memulai kegiatan praktik di sekolah.
“Kita tidak perlu tergesa-gesa untuk buka pembelajaran tatap muka. Desember ini kami coba lihat beberapa sekolah yang uji coba buka,” kata dia
Kalau pun kegiatan belajar dimulai, Pemda DIY akan memulai dari universitas. “Kalau (siswa) yang dewasa bisa beri contoh adaptasi kebiasaan baru yang baik dan tidak timbul klaster baru, mungkin kami berani mencoba. Harapan kami mahasiswa sudah ada yang tatap muka dan kita lihat perkembangannya,” kata Didik.